Kamis, 06 November 2014

DESAKU DESA TRADISIONAL JULAH



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menuntut manusia untuk berpikir praktis, instan dan pragmatis. Hal ini disebabkan karena manusia sudah dicekoki dengan berbagai hal yang sifatnya cepat menghasilkan uang, tanpa berpikir apa akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Jika hal ini dibiarkan, maka suatu saat nanti khususnya umat Hindu di Bali dan umat manusia di Indonesia pada umumnya akan kehilangan identitas sebagai bangsa yang beradab, yang mencintai budaya lelehurnya. Dalam hal ini pemerintah melalui instansi terkait telah berupaya untuk menangkal arus globalisasi melalui perkembangan IPTEK yang semakin deras melalui upaya pewarisan kearifan local kepada masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Hindu di Bali khususnya.
Walaupun ada upaya pewarisan kearifan lokal dari generasi ke generasi, tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal akan tetap kukuh menghadapi globalisasi yang menawarkan gaya hidup yang makin pragmatis dan konsumtif. Secara faktual dapat kita saksikan bagaimana kearifan lokal yang sarat kebijakan dan filosofi hidup nyaris tidak terimplementasikan dalam praktik hidup yang semakin pragmatis.
Dalam realitas Indonesia kini, secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kearifan lokal yang kita miliki mirip benda pusaka, yang kita warisi dari leluhur, kita simpan dan kita pelihara, tetapi kita tidak mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata sehingga pusaka tersebut sia-sia merespons tantangan zaman yang telah berubah.
     Dalam kaitannya dengan kearifan lokal dan realitas Indonesia kini, Kompas edisi 20 April 2011 menampilkan dua tulisan yang relevan, yakni “Saya Mohon Ampun” oleh Radhar Panca Dahana dan “Pembangunan Gerus Kearifan Lokal” oleh Wasisto Raharjo Jati. Dalam tulisannya, Radhar Panca Dahana mencemaskan perilaku para elit negeri ini yang antara sadar dan tidak sadar telah menjadi agen kepentingan dan keserakahan ekonomi dan politik negara maju (sehingga Indonesia hanya dijadikan sekadar pasar sambil dikuras habis sumber daya alamnya). Sementara itu, Wasisto Raharjo Jati mengemukakan bahwa pembangunan di Indonesia yang terpaku pada pertumbuhan ekonomi semata telah mengabaikan kearifan lokal dan menimbulkan potensi konflik vertikal dan horizontal di kemudian hari, karena berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, secara tidak langsung pemerintah juga telah menjejalkan “budaya uang” sehingga cenderung mengurangi dan meniadakan kearifan dan budaya lokal.
     Kearifan lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia yang memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia,  kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan hidup yang mewujud dalam berbagai bidang kehidupan (tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan, dan sebagainya).
            Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi, nasib kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang setelah sekian generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acapkali terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada tekanan dan kebutuhan ekonomi.
Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan di Jawa Barat, mitos pengeramatan hutan yang sesungguhnya bertujuan melestarikan hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga masyarakat sekitar dengan masa bodoh membabat dan mengubahnya menjadi lahan untuk berkebun sayur (Kompas, 23  April 2011). Ungkapan Jawa tradisional mangan ora mangan waton kumpul (‘biar tidak makan yang penting berkumpul [dengan keluarga]’) sekarang pun makin kehilangan maknanya: banyak perempuan di pedesaan yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk bekerja di mancanegara dengan risiko terpisah dari keluarga daripada hidup menanggung kemiskinan dan kelaparan.
     Kearifan lokal hanya akan abadi kalau terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah. Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi negara (yakni Pancasila) dalam berbagai kebijakan negara. Dengan demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai senjata-tidak sekadar pusaka yang membekali masyarakatnya dalam merespons dan menjawab arus zaman.
I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www. balipos.co.id, didownload 17/9/2003, mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving).
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture). 
Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain.
Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya”.
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup.
     Kearifan lokal menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup BAB I Pasal 1 butir 30 adalah adalah “nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari”.
Selanjutnya Ridwan (2007:2) memaparkan: Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian tersebut, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikansebagai kearifan/kebijaksanaan Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting.
Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka.
Keraf (2010: 369) bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan Yang Gaib.Hal tersebut menunjukkan bahwa:
 Pertama, kearifan tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula, yang dikenal sebagai pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga milik komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat individual.Kedua, kearifan tradisional, yang juga berarti pengetahuan tradisional, lebih bersifat praktis, atau “pengetahuan bagaimana”. Pengetahuan dan kearifan masyarakat adat adalah pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam. Pengetahuan ini juga mencakup bagaimana memperlakukan setiap bagian kehidupan dalam alam sedemikian rupa, baik untuk mempertahankan kehidupan masing-masing spesies maupun untuk  mempertahankan seluruh kehidupan di alam itu sendiri. Itu sebabnya, selalu ada berbagai aturan yang sebagian besar dalam bentuk larangan atau tabu tentang bagaimana menjalankan aktivitas kehidupan tertentu di alam ini.Ketiga, kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta. Alam adalah jaring kehidupan yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan bagian yang terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait satu sama lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus merupakan suatu pengetahuan menyeluruh. Keempat, berdasarkan kearifan tradisional dengan ciri seperti itu, masyarakat adat juga memahami semua aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Kegiatan bertani, berburu dan menangkap ikan bukanlah sekedar aktivitas ilmiah berupa penerapan pengetahuan ilmiah tentang dan sesuai dengan alam, yang dituntun oleh prinsip-prinsip dan pemahaman ilmiah yang rasional. Aktivitas tersebut adalah aktivitas moral yang dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral yang bersumber dari kearifan tradisional. Kelima, berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat yang mengkalim dirinya sebagai universal, kearifan tradisional bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkret. Kearifan dan pengetahuan tradisional selalu menyangkut pribadi manusia yang partikular (komunitas masyarakat adat itu sendiri), alam (di sekitar tempat tinggalnya) dan relasinya dengan alam itu. Tetapi karena manusia dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan tradisional dengan tidak direkayasapun menjadi universal pada dirinya sendiri. Kendati tidak memiliki rumusan universal sebagaimana dikenal dalam ilmu pengetahuan modern, kearifan tradisional ternyata ditemukan di semua masyarakat adat atau suku asli di seluruh dunia, dengan substansi yang sama, baik dalam dimensi teknis maupun dalam dimensi moralnya.

Menurut Teezzi, dkk (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan bahwa "akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama". Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
            Memperhatikan pernyataan yang didukung oleh beberapa sumber seperti dipaparkan di atas, maka salah satu desa adat yang sangat ajeg dan lestari keraifan lokalnya sampai saat ini serta didukung oleh masyarakatnya walaupun hidup di tengah-tengah era global dan kemajuan IPTEK adalah kearifan lokal masyarakat Julah.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Desa Adat Julah
Desa Julah merupakan sebuah desa yang berpenduduk Bali Mula, di mana sampai saat ini seluruh anggota masyarakatnya di dalam melaksanakan praktek-praktek keagamaan menggunakan sarana-sarana upakara yang sangat sederhana. Kesederhanaan sarana upakara yang digunakan bukanlah semata-mata karena di desa Julah sulit ditemukan sarana upakara seperti digunakan oleh masyarakat Hindu Bali umumnya, tetapi karena masyarakat tidak berani merubah dan sangat taat untuk mewarisi tradisi leluhurnya yang dianggap mengandung unsur supra natural power.
Hal seperti digambarkan di atas sesuai dengan hasil pengamatan dan wawancara  yang telah dilakukan bahwa jika sarana upakara yang digunakan diganti maka akan berakibat niskala, apakah terjadi mala petaka di desa atau hal-hal yang bersifat niskala lainnya yang sulit diterima secara akal sehat. Sebagai illustrasi bahwa penggunaan canang atau sarana sembahyang yang tidak menggunakan bunga seperti canang yang digunakan oleh masyarakat di Bali pada umumnya, tetapi di dalam pembuatan canang hanya menggunakan daun sirih (base), daun intaran, buah pinang, dan kapur sirih.Jika dilihat dari unsur yang ada pada canang di atas, tampaknya hampir sama dengan canang/pecanangan yang dimakan oleh orang-orang tua zaman dahulu.
Berbicara tentang sejarah desa Julah tentu tidak akan bisa lepas dari cerita rakyat (legenda) yang sudah diceritakan secara turun-temurun. Seperti halnya Cerita I Belog dan Men Bekung merupakan sebuah cerita yang mengisahkan tentang adanya desa Julah ini. Dalam cerita ini diceritakan I Belog adalah orang yang bodoh yang berteman dengan seekor anjing hitam (kuluk selem) dan pekerjaannya adalah pencari ikan. Pada suatu saat I Belog mencari ikan di sebuah telaga yang cukup besar dengan peralatan yang sangat sederhana yaitu sebuah tombak (tumbak), karena hanya berbekal tombak saja, akhirnya I Belog tidak mendapatkan satu ekor ikanpun dan akhirnya I Belog pulang dengan tangan hampa.
Di tengah perjalanan pulang, I Belog bertemu dengan Pan Bekung, karena I Belog kelihatan murung dan tidak membawa ikan satupun, maka Pan Bekung pun bertanya kepada I Belog, “I Belog kenapa mukamu murung? dan Belog pun menjawab Pan Bekung aku dari pagi mencari ikan di telaga namun tak satu ikan pun ku dapat”. Akhirnya Pan Bekung terketuk hatinya dan merasa iba pada I Belog. Kemudian Pan Bekung menyuruh I Belog untuk pergi kerumah Men Bekung. Dan I Belog pun tanpa pikir panjang pergi ke rumah Men Bekung. Sesampainya di rumah Men Bekung, I Belog mengutarakan masalah yang dia hadapi, akhirnya Men Bekung memberikan umpan dan kail pancing untuk digunakan oleh I Belog untuk mencari ikan.
Keesokan harinya I Belog tidak sabar untuk pergi memancing, dengan membawa peralatan mancing yang diberikan oleh Men Bekung. Akhirnya dengan pancing dan umpan pemberian Men Bekung, maka keesokan harinya setelah I Belog memancing kemudian I Belog mendapatkan hasil tangkapan ikan yang cukup banyak. I Belog pun merasa bahagia dengan hasil tangkapannya. I Belog bukan orang yang rakus dan bukan orang yang tidak tahu terima kasih, ia pun memberikan setengah hasil tangkapannya kepada Men Bekung, dan hal itu terus di lakukan oleh I Belog pada setiap I Belog melakukan aktivitas memancing ikan dan selalu diberikannya kepada Men Bekung.
Keluguan I Belog membuat Men Bekung menjadi iba, karena ketulusan hati I Belog kepada Men Bekung, Men Bekung pun memberikan sebuah cincin permata yang indah dan memiliki kekuatan magis/gaib, kepada I Belog. Berkat menggunakan cincin itu I Belog pun mendapatkan hasil tangkapan yang sangat banyak dan berlimpah, dan karena itu I Belog pun menjadi orang kaya.
Pada suatu hari ikan yang ada di sisi tepi telaga semakin sedikit, I Belog pun memutuskan untuk memancing ke tengah telaga dengan menggunakan rakit, dan anjing hitamnya pun dengan setia menunggu di sisi telaga. I Belog dengan asiknya memancing dan tanpa disadari cincin yang digunakan oleh I Belog diambil oleh be jagul (ikan jagul). I Belog pun gundah gulana karena cincin yang diberikan oleh Men Bekung hilang diambil oleh Be Jagul. I Belog pun sedih dan bergegas ketepian dengan wajah murung. Akhirnya setelah pulang memancing I Belog menceritakan kejadian itu kepada Kuluk Selem (Anjing Hitam). Kuluk Selem pun memberikan solusi untuk mengadakan sayembara dan sayembara itupun dilakukan. Kuluk Selem mengumpulkan para ikan dan semua hewan yang ada di sekitar telaga. Setelah semua hewan berkumpul, Kuluk Selem dan I Belog menyampaikan sayembaranya. I Katak ikut dalam sayembara itu, I katak mencoba untuk mencari cincin itu. Tapi sayangnya cincin itu ditaruh dalam sebuah kotak kayu oleh Be Jagul, oleh karena itu I Katak tidak bisa mengambil cincin permata itu. Mendengar berita itu I Belog menjadi sangat khawatir dan sedih, kabar ini pun sampai di telinga I Bikul, I Bikul pun dengan tulus iklas membantu I Belog untuk mengambil cincin permata itu. I Bikul dengan kemampuan mengeratnya berhasil melubangi kotak kayu itu dan kemudian mengambil cincin permata tersebut dan menyerahkannya kepada I Belog. I Belog pun senang karena cincinnya telah didapatkan kembali. Sesuai dengan janji yang diucapkannya I Belog bertanya kepada I Bikul, ”Bikul karena engkau sudah berhasil mengambil cincin permataku maka apapun permintaanmu akan kuberikan”. Karena ketulusan hati I Bikul untuk menolong I Belog, I Bikul pun tidak meminta apapun. Karena kebaikan I Bikul luar biasa maka I Bikul diberi penghargaan dengan gelar Jero Ketut. Berdasarkan cerita di atas di Desa Julah ada sebuah upacara Ngerarung Bikul, di mana upacara tersebut dilaksanakan pada Sasih Kepitu Rainan Pinglong, di mana krama Desa Adat Julah diwajibkan untuk membawa seekor tikus dan dikumpulkan di Pura Bale Agung Julah dan kemudian di upacarai serta di rarung ke laut. Di dalam awig-awig disebutkan bagi karma Desa Adat Julah yang tidak membawa seekor tikus akan dikenakan denda sebelas uang kepeng.
Lanjut cerita I Belog mencari ikan ditepi laut karena ikan yang ada di Telaga itu sudah habis. Berbekalkan umpan dan cincin permata iapun mencari ikan di pesisir. Tanpa sengaja I Belog mendapatkan seekor ikan buntek emas. I Belog sangat menyayagi ikan itu  saking sayangnya Ia pun membawa ikan itu kemana Ia pergi. Pada suatu hari  ketika I beleog memacing di pantai I Belog bertemu dengan Wong Prau (orang Perahu). Melihat keanehan ikan yang dibawa I Belog maka Wong Prau pun tertarik dengan ikan yang dimiliki oleh I Belog. Wong Prau mencoba mendekati I Belog dan menawarkan untuk menukar ikan bunteknya dengan sebuah batu permata yang disebut dengan manik sekecap. Batu permata yang dibawa oleh wong Prau itu memiliki kelebihan yaitu apapun yang diminta pemiliknya akan terpenuhi. I Belog pun mencoba kekuatan batu manik sekecap itu. Dia pun meminta sepiring nasi dan tanpa tahu sebabnya nasi itupun muncul secara tiba-tiba di depanya. I Belog pun sangat tertarik untuk memiliki batu manik sekecap itu dan menukarkan dengan ikan buntek mas kesayangannya. I Belog selalu menekuni pekerjaaannya menjadi pencari ikan dan ia selalu mencari ikan.
Suatu saat ketika ia berjalan di pesisir pantai hendak memancing I Belog bertemu lagi dengan Wong Prau yang terdampar. Melihat tingkah I Belog yang aneh Wong Prau terdampar pun tertarik dan mendekati I Belog. Melihat I Belog mendapatkan sesuatu dengan meminta saja, Wong Prau menjadi semakin ingin memiliki kekuatan itu, akhirnya Wong Prau pun mencoba untuk menukarkan kipas emasnya dengan batu manik sekecap milik I Belog. Dengan kekuatan kipas emas itu wong prau memperaktekan kekuatan kipasnya. Karena tertarik oleh kekuatan kipas itu I Belog pun mencoba kekuatan dari kipas emas itu dengan mengambil sepotong ranting kayu yang kering kemudian dikipasi dan kayu itu menjadi hijau dan tumbuh yang dinamakan dengan kayu menengen. Jika dilihat dari mitos tersebut jika dihubungkan desa Julah, maka di desa julah ada sebatang pohon yang besar yang dipercaya bahwa pohon itu tumbuh akibat dihidupkan dengan kipas emas oleh I Belog.
Dengan kipas emas itu I Belog menjadi orang yang ego dan menjadi seorang Balian (dukun) yang sangat sakti, di mana ada orang yang sakit parah maupun yang mati dia berhasil untuk menyembuhkan dan menghidupkannya kembali dengan mengunakan kipas mas yang ajaib itu. Bumi pun menjadi lautan manusia dan hewan akibat ulah I Belog manusia dan hewan tidak ada yang mati. Melihat hal ini Ida Sang Hyang Widhi (Bhatara Punta Hyang) pun mengumpulkan para Dewa untuk berunding dan mengutus turun ke bumi untuk menyelidiki keadaan dan mencari sebab yang menjadikan tidak ada kematian makhluk hidup. Sesungguhnya dalam agama Hindu sudah tersirat dalam ajaran Tri Kona (lahir, hidup, dan mati) yang merupakan suatu siklus proses kehidupan di dunia yang harus dilewati, jika salah satu proses ini tidak ada maka keseimbangan dunia akan menjadi tidak stabil. Oleh karena itu dalam cerita ini Tuhan pun turun dalam bentuk manifestasi Bhatara Punta Hyang yang berperan untuk menyeimbangkan keadaan di dunia. I Belog pun di tangkap oleh para Dewa karena I Belog di anggap sebagai sumber masalah ini. Para Dewa pun menciptakan bencana berupa perang saudara untuk mengurangi jumlah manusia, tanpa disadari manusia dan hewan pun punah akibat peperangan itu. Dari masalah itu para Dewa pun turun ke bumi untuk menyelamatkan nyawa yang masih tersisa, tetapi apa dikata semua sudah sirna dan Dewa hanya menemukan bangkai seekor kera yang sedang hamil, oleh karena itu para Dewa pun diutus untuk mengubur dan menjaga kuburan kera hamil itu. Dan pada suatu saat kuburan kera hamil itu tumbuh menjadi sebuah pohon dan berbuah, dan pohon itu bernama kayu kastuban. Buah dari pohon itu menjadi manusia yang pertama lahir. Di tempat inilah menjadi tempat manusia lahir dan tempat ini disebut dengan cutak. Jika dibandingkan dengan india bahwa di india ada tempat yang namanya sama yaitu Cutak (satuan hitungan tanah).
Menurut seorang peneliti dari jerman beliau seorang guru besar di sebuah universitas di Jerman mengatakan bahwa sesungguhnya orang penduduk Cutak (julah) berasal dari India, yaitu terbukti ditemukannya kerangka manusia di sekitar desa Pacung yang memiliki kesamaan cirri-ciri dengan desa Julah. Selain itu juga ada kemiripan tradisi yaitu di Julah orang mengunakan daun intran (don Intaran) digunakan sebagai unsure kekuatan untuk memohon keselamatan, sedangkan di India menggunakan daun intaran digunakan sebagai ritual untuk mencuci tangan sebelum makan. Semakin lama penduduk Cutak semakin berkembang dan cutak merupakan tempat persinggahan para pelaut sehingga roda perkonomian  daerah Cutak menjadi sangat maju dan  daerah Cutak pun berubah nama  menjadi Cakra Sari. Hal  ini terjadi karena banyak ada penduduk pendatang  melakukan proses perdangan di Cutak. Cakra sari terdiri dari dua yaitu Cakra artinya perputaran atau siklus pertemuan antra penduduk asli dengan penduduk pendatang yang melakukan perdangan maupun perkawianan, dan kata Sari berarti hasil. Jadi Cakra sari adalah sebuah hasil pertemuan antra penduduk pendatang (india) dengan penduduk pribumi, baik pertemuan dalam bidang perdangangan maupun perkawinan.
Pada suatu saat daerah Cakra Sari mengalami musibah yang sangat mengerikan, di mana penduduk daerah Cakra Sari terkena penyakit yang sangat sulit disembuhkan. Dan akhirnya orang yang sakit di ungsikan di wilayah Bangkah agar penyakit ini tidak menular pada penduduk Cakra Sari yang lainnya. Di daerah Bangkah inilah orang yang sakit dirawat oleh Balian yang mengerti dengan Ilmu tenung dan Usadha, sehingga banyak orang yang berhasil sembuh oleh para Balian ini, selain mengunakan bahan-bahan herbal berupa daun, kulit pohon, bunga, dan akar menjadi obat, para Balian ini juga mengunakan air suci yang ada di Ponjok Batu untuk digunakan sebagai tirta, panglukatan, maupun pembersihan. Air suci yang ada di Ponjok Batu konon Airnya merupakan perpaduan antara mata air kaja kangin dan kaja kauh, sehingga air ini merupakan perpaduan tiga mata air, yaitu air dari kaja kangin, kaja kauh dan air laut. Oleh karena itu, masyarakat Julah sangat menyucikan dan dikeramatkan mata air itu. Mata air itu dijadikan tirta panglukatan agung, biasanya digunakan dalam upacara dan untuk mengobati penyakit yang parah. Setelah itu daerah ini juga diserang oleh bajak laut yang datang melalui pesisir pantai, ini terjadi karena orang Cakra Sari orang yang makmur dan kaya, sehingga menjadi target para bajak laut untuk menyerang daerah ini dan menjarahnya. Pada saat itu banyak warga yang mengungsi ke gunung (Batu Gambir) dan ada beberapa warga yang masih bertahan di Cakra Sari karena ingin mempertahankan harta benda yang dimilikya dan hingga kini di desa Julah ini terdapat jalan kumpi di mana para Kumpi ini (kumpulan Orang Berani) bertahan dan melawan bajak laut. Dalam prasasti juga disebutkan bahwa tangan kanan Raja disebut dengan Kumpi. Dari orang pemberani inilah para bajak laut berhasil di hadang. Dan karena tekat untuk bertahan dan maju melawan musuh maka daerah Cakra Sari disebut dengan Desa Julah.
Julah berasal dari kata Majulah yang artinya maju melawan musuh, dilain pihak ada juga yang mengatakan Julah berasal dari Iju artinya jalan Cepat dan Ulah artinya usir. Jadi Julah artinya lari karena diusir oleh bajak laut. Dengan demikian desa Julah memiliki nama seperti sekarang yaitu desa Julah.
            Masyarakat Desa Julah tergabung ke dalam kelompok masyarakat Bali Kuna. Berdasarkan hasil penelitian dari analisis keramik lokal dan asing tipe wadah yakni: periuk, paso, kendi, tempayan dan tutup wadah. Kepingan-kepingan tutup keramik tersebut ditemukan di daerah tidak jauh dari pantai Desa Julah, Pacung dan Sembiran pada kedalaman tanah ± 6 meter. Pada keramik tersebut ada yang polos dan ada pula yang menggunakan hiasan. Selain itu ada pula yang bukan tipe wadah, melainkan bandul jaring dan mata pancing. Semua itu memberikan petunjuk bahwa menangkap ikan merupakan salah satu mata pencaharian penduduk (Sidemen, 1998:39).
         Uraian di atas diperkuat oleh Ardika, dkk (2013:69) dalam penelitiannya di kawasan Desa Julah (Sembiran dan Pacung) menemukan bukti-bukti sejarah sebagai hasil galian berupa gerabah. Adapun kutipannya adalah sebagai berikut.
Ekskavasi (penggalian, pen.) arkeologi di situs Sembiran dan Pacung Kecamatan Tejakula yang dilakukan sejak tahun 1967 telah berhasil menemukan gerabah India diantaranya ada yang menggunakan pola hias rolet. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya hubungan Bali dengan India, terutama India Selatan terjadi pada awal abad pertama Masehi. Berdasarkan temuan arkeologis disitus Sembiran dan Pacung keduanya mempunyai fungsi yang sama dengan Gilimanuk, yakni sebagai pelabuhan kuno. Kondisi geografis data arkeologis dan epigrafis mengindiksikan bahwa situs Sembiran dan Pacung merupakan bagian dari Desa Julah yang berfungsi sebagai salah satu pelabuhan kuno di Bali Utara setidaknya sejak abad I hingga abad XII Masehi….

         Berdasarkan kutipan di atas, temuan keramik asing dan gerabah tersebut menunjukkan bahwa kontak dagang dengan India tampaknya lebih awal dibandingkan dengan Cina. Selain itu baru-baru ini ditemukan pula tengkorak manusia oleh peneliti arkeologi di dekat pantai Desa Julah (Sidemen, 1998:58) yang diperkirakan tengkorak orang India yang telah berusia ribuan tahun sebelum masehi. Adanya penemuan tengkorak tersebut menunjukkan bahwa sebelum kedatangan Rsi Markandeya ke Bali, sudah ada penghuni di Desa Julah. Berdasarkan uraian di atas, sebelum abad X sesuai dengan prasasti yang mengacu Desa Julah yang kini disimpan di Desa Julah dan Desa Sembiran menunjukkan bahwa Desa Julah sebagai tempat persinggahan atau pelabuhan bagi para pedagang asing (Sidemen, 1998:58).
         Mengacu pada cerita rakyat Julah, memberikan keterangan bahwa sebelum Desa Julah disebut-sebut dalam prasasti, terdapat suatu daerah yang bernama Cutak. Cutak merupakan daerah yang dihuni oleh kelompok nelayan. Lebih lanjut dalam cerita rakyat Julah diuraikan tentang kelompok warga Cutak dipimpin oleh seorang raja yang bernama Ida Kumpi dan didampingi oleh seorang permaisuri, putra serta seorang putrinya yang bernama Sang Dewi. Sang Dewi adalah anak angkat Ida Kumpi yang diperoleh disuatu tempat, tepatnya di dalam sebuah kelapa muda (Sidemen, 1998:59). Semenjak Ida Kumpi bersama Sang Dewi, daerah pimpinannya semakin hari semakin berkembang, bahkan setelah Sang Dewi dewasa, seolah-olah Ida Kumpi memimpin atas nama Sang Dewi.
         Demikianlah kenyataannya daerah Cutak sampai dikenal oleh negeri lain terutama India dan Cina dalam hubungan perdagangan. Pada waktu itu Cutak merupakan daerah penghasil padi, kapas, dan gula ental (gula dari pohon rontal) terbesar bahkan dengan kwalitas terbaik, namun sebaliknya masyarakat Cutak juga membutuhkan alat perlengkapan rumah tangga dimana India dan Cina mampu mengatasinya dengan kwalitas yang baik pula (Sidemen, 1998:59). Sejak terjalinnya hubungan erat antara Cutak dengan India dan Cina sampai pada masa keemasannya, Cutak diberi julukan “Kerta Sari Waringin”, yang artinya berkat perlindungan-Nya daerah Cutak menjadi makmur dan damai (Sidemen, 1998:59).
         Beberapa tahun lamanya mengalami masa keemasan, Kerta Sari Waringin diserang oleh musuh dari seberang yang mengakibatkan banyak penduduk Kerta Sari Waringin terbunuh, ditawan, dan hanya beberapa keluarga saja termasuk Ida Kumpi serta keluarganya yang dapat meloloskan diri dari bahaya serangan musuh.  Mereka melarikan diri ke arah selatan ± 5 kilometer dengan bersembunyi di suatu tempat yang bernama Upit. Upit adalah nama sumur kecil yang berada di suatu daerah, yang sekarang bernama Banjar Batu Gambir, Desa Julah. Berdasarkan peristiwa tersebut tercetuslah ide untuk sepakat memberi nama daerah tersebut dengan Julah yang artinya “mereka selamat karena melarikan diri atas paksaan musuh” (Sidemen, 1998:60).
“Julah berasal dari kata “ulah”. Ulah artine uber. Sebelum daerah ini disebut Julah, wilayah ini bernama Kerta Sari Waringin. Tapi karena pada masa itu sering terjadi penyerangan dari bajak laut, maka sebagian rakyat melarikan diri ke daerah Sembiran dan sebagian lagi ke daerah Upit yang sekarang Julah. Pas ento Julah anak tongos pelabuhan Internasional, pusat perdagangan….”
        
         Entah berapa lama tinggal di pengasingan, hingga pada akhirnya penduduk bertambah banyak, bahkan sampai mendirikan tempat suci (pura) yang sekarang disebut dengan Tegak Jro, letaknya tidak jauh dari sumur Upit. Menjelang abad X masehi, datang seorang raja dari Dinasti Warmadewa yang dalam prasasti Julah menerangkan bahwa masyarakat Julah yang masih berada di pengasingan supaya kembali pulang ke Desa Julah dan tinggal di tempat semula. Lebih lanjut dalam prasasti Julah diuraikan, pada abad X masehi mutlak Desa Julah dibawah kekuasaan Dinasti Warmadewa, namun sang raja tetap menghormati Ida Kumpi sebagai sesepuh Desa Julah serta menetapkan batas-batas wilayah Desa Julah, yaitu: barat: Air Lutung, utara; Duri Lwar-Lwar, selatan: Ampuhan (Salinan Gedong Krtya, t.t:i) (dalam Mahayati, 2011:31).
         Perjalanan sejarah panjang Desa Julah, sampai sekarang masih menyimpan bukti baik berupa prasasti, meskipun tempatnya lebih banyak berada di daerah Desa Sembiran. Selain prasasti, berbagai bentuk bangunan, cara permujaan, keberadaan lembaga atau perangkat desa tradisional, dan rohaniawan juga memberikan bukti bahwa Desa Julah merupakan salah satu desa tua di Bali. Segala bentuk peradaban Desa Julah yang bertahan sekarang tidak terlepas dari sejarah. Sebuah apresiasi yang sangat tinggi ditorehkan oleh umat Hindu Desa Julah, hingga sekarang masih menjaga keajegan tradisinya. Akan tetapi mengingat pada awalnya Julah menjalin hubungan dagang antara Cina dan India, pada akhirnya memberikan pengaruh terhadap perkembangan budaya dan agama di Julah. Hal tersebut dapat diperhatikan melalui penggunaan uang kepeng sebagai sarana pelengkap dalam upacara ngaben.

2.1.1 Letak Geografis Desa Julah
         Desa Julah adalah bagian dari wilayah Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng. Berdasarkan pembagian wilayah, daerah Buleleng dibagi menjadi tiga wilayah, yakni: Buleleng Barat, Buleleng Tengah, dan Buleleng Timur. Sejalan dengan pembagian wilayah tersebut di atas, Desa Julah terletak pada kawasan Buleleng Timur dengan luas wilayah sekitar 4,70 km2 atau 470 ha. Jarak Desa Julah dengan Ibu Kota Kecamatan Tejakula ± 5 Km. Sedangkan jarak Desa Julah dengan Ibu Kota Kabupaten ± 28 Km. Adapun batas-batas Desa Julah adalah:
1. Sebelah utara           : Laut Bali
2. Sebelah timur          : Desa Bondalem
3. Sebelah selatan        : Desa Madenan, dan
4. Sebelah barat           : Desa Pacung dan   Sembiran Bawah
(Sumber: Statistik Desa Julah Tahun 2008).
Desa Julah terbagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun Kawanan, Dusun Kanginan dan Dusun Batu Gambir. Desa Julah pada kawasan pantai terdapat bentangan tanah dasar yakni tegalan. Tegalan tersebut membentang ke selatan dalam posisi kemiringan yang semakin meninggi. Pada bagian ujung dari tegalan tersebut, digunakan untuk kawasan pemukiman. Di bagian belakang pemukiman terdapat pegunungan. Dengan adanya struktur topografi serupa itu, tampak bahwa wilayah Desa Julah melandai ke utara dengan rata-rata kemiringan 0,350. Di bagian barat dan timur pegunungan tampak jurang. Pada bagian dasarnya terdapat sungai, namun pada musim kemarau menjadi kering. Salah satu sungai yang melewati Desa Julah adalah Sungai Song (Sumber: Statistik Desa Julah Tahun 2008).
Desa Julah terpengaruh oleh angin musim, sehingga memiliki iklim tropis yang mengenal pemisahan secara tegas antara musim hujan dengan musim kemarau. Curah hujan umumnya tinggi dalam jangka waktu empat bulan. Sedangkan 8 bulan berikutnya Desa Julah mengalami musim kemarau. Curah hujan di Desa Julah rata-rata sekitar 1.092 mm setiap tahun. Berdasarkan hal tersebut di atas, Desa Julah dikategorikan atau digolongkan sebagai daerah sabana. Hal ini didukung pula oleh ekosistem yang ditutupi hamparan tanah kering dan tandus. Kawasan ini banyak tumbuh pohon lontar, sehingga menyebutnya dengan nama daerah sabana lontar (Mahayati, 2011:31).
Pada musim kemarau sungai-sungai kering. Pada saat musim penghujan sungai baru berisi air atau bahkan bisa pula kebanjiran. Disepanjang pantai Desa Julah terdapat banyak mata air yang dapat dikonsumsi. Umumnya pemukiman di dataran rendah, Desa Julah ditandai dengan rumah penduduk yang mengelompok pada tempat-tempat tertentu dan letaknya tidak terlalu jauh dari tegalan, untuk memudahkan pengawasan terhadap tanah tegalan serta ternak yang dipelihara di tanah tegalan tersebut.
Karena wilayahnya memiliki curah hujan rendah maka di Desa Julah tidak ada sistem pertanian sawah melainkan hanya diterapkan sistem pertanian tegalan dengan jenis tanaman seperti jagung, ubi kayu, kacang tanah, pepaya, rambutan, mangga, dan lain-lain. Selain pertanian tegalan, Desa Julah juga memiliki perkebunan, seperti kelapa, kopi, dan cengkeh.
Menyimak penjelasan di atas, diantara beberapa jenis tanaman yang menjadi sumber komoditas di Desa Pakraman Julah, lahan tanaman kopi merupakan lahan yang paling luas apabila dibandingkan dengan lahan tanaman lainnya. Adapun luas lahan tanaman kopi adalah 55 ha. Berbeda dengan luas lahan tanaman lain yang berkisar antara 0,5 sampai 37 ha. Meskipun tanaman kopi berada dalam lahan yang paling luas, tetapi dari segi hasil, tanaman coklat merupakan komoditas tanaman yang memberikan penghasilan paling tinggi di Desa Pakraman Julah.  

2.1.2        Keadaan Penduduk Desa Julah
Penduduk Desa Julah sesuai pendataan akhir tahun Desember 2008 berjumlah 4.192 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 2.132 jiwa (50,85%) dan penduduk perempuan 2.060 jiwa (49,14%) dengan jumlah kepala keluarga 1.254 KK. Jumlah tersebut di atas merupakan angka resmi yang dicatat di kantor Kepala Desa Julah. Berdasarkan  data di atas, umur produktif (15 – 56 Th) dari masyarakat Desa julah cukup tinggi yakni 73% dari jumlah penduduk. Kondisi yang demikian, merupakan salah satu faktor yang memotivasi terjadinya perubahan masyarakat Julah yang demikian tinggi. Selain penduduk asli Julah yang mendominasi banyaknya jumlah penduduk, ditambah banyaknya penduduk pendatang menyebabkan penduduk asli Desa Julah maupun pendatang harus mengadaptasikan diri baik secara kultural, maupun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam sima dresta maupun awig-awig Desa Pakraman Julah.

2.1.3        Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama
Penduduk Desa Julah bersifat heterogen, terdiri dari penduduk yang beragama Islam dan beragama Hindu. Kehidupan masyarakat dengan adanya dua keyakinan yang berbeda tidak membuat mereka berselisih, akan tetapi hubungan mereka cukup rukun. Penduduk yang beragama Hindu 3.619 jiwa (90%) dan penduduk yang beragama Islam 537 jiwa (10%). Dari jumlah penduduk yang ada dapat diketahui mayoritas penduduk Desa Julah adalah beragama Hindu (Sumber: Sistem Pendapatan Profil Desa Julah Tahun 2009). Diantara tiga dusun yang ada di Desa Julah (Dusun Kawanan, Kanginan dan Dusun Batu Gambir), Dusun Batu Gambir merupakan salah satu dusun yang keadaan penduduknya bervariasi.
“…penduduk Dusun Batu Gambir terdiri dari 350 KK. Dari 350 KK tersebut, 120 KK Agama Islam, dan sisanya adalah beragama Hindu. Dusun Batu Gambir merupakan daerah yang khusus bagi penduduk pendatang. Sebagian besar penduduk yang terorganisir dalam wilayah Dusun Batu Gambir adalah berasal dari Karangasem dan sebagian lagi diperkirakan 5 KK berasal dari Satra, Kabupaten Bangli. Penduduk yang beragama Islam kurang lebih satu tahun lebih awal menempati Dusun Batu Gambir dibandingkan dengan penduduk yang beragama Hindu….”

            Sejalan dengan pernyataan di atas, lebih lanjut Diarsi menyatakan bahwa “hubungan antara penduduk asli Julah dengan pendatang sejauh ini masih baik-baik saja, demikian juga yang terjadi antara penduduk yang beragama Islam dengan Hindu.” Sekalipun memiliki identitas dan latar belakang yang berbeda, toleransi yang ditorehkan dalam heterogenitas suku, ras, dan agama di Desa Julah selama ini dapat dikatakan sangat erat. Hanya saja demi kebertahanan tradisi nenek moyang yang diwarisi secara turun-temurun, umat Hindu Desa Pakraman Julah selalu melakukan resistensi terhadap pengaruh luar (penduduk pendatang yang membawa bekal tradisi aslinya).
“…bagi umat Hindu pendatang yang tinggal di Dusun Batu Gambir tidak diberikan melakukan upacara kematian (ngaben) dengan memanfaatkan setra yang  berada di Desa Pakraman Julah. Oleh karena itu, untuk menghormati adat yang berlaku di Julah, umat Hindu pendatang biasanya menyelenggarakan ritual kematiannya ke daerah dari mana mereka berasal”.

         Memperhatikan jumlah penduduk asli yang dominan beragama Hindu dan adanya resistensi kultural yang dilakukan oleh Desa Adat Julah dalam menjaga keutuhan tradisi (upacara keagamaan) yang bernuansa lokal adat Julah dapat dipastikan sulit akan luntur, terlepas dari pengaruh lain yang sifatnya lebih keras dalam mendobrak tatanan budaya tersebut. Meskipun hal tersebut terjadi, maka harus ada konflik yang mengarah pada rusaknya tatanan nilai budaya yang dikembangkan oleh Adat Julah, karena tidak semua tradisi yang dikembangkan oleh agama primitif jelek dan merusak pembangunan.

Bidang usaha pencaharian nafkah yang paling banyak ditangani oleh penduduk usia kerja di Desa Julah adalah pertanian, yakni sebanyak 2.588 orang. Bidang usaha lainnya adalah industri rumah tangga dan pegawai negeri yang terdiri dari pegawai negeri sipil maupun swasta. Jumlah mereka yang berpotensi sebagai pengerajin industri rumah tangga sebanyak 35 orang, pegawai negeri sipil sebanyak 26 orang. Mereka pada umumnya bekerja keluar desa, baik dalam lingkup di Bali maupun di luar daerah Bali. Mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan adalah 34 orang.
Kelompok pengerajin industri rumah tangga juga dikembangkan oleh masyarakat Desa Julah, meskipun jumlahnya sedikit, tetapi hal ini menunjukkan bahwa ada keinginan dari sebagian masyarakat untuk mencari penghidupan dari mengembangkan keahlian yang dimiliki. Industri rumah tangga yang ada saat ini di Desa Julah adalah kerajinan pembuatan ingka, pembuatan kerupuk, jajan Bali, dodol, dan pembuatan minyak kelapa dengan wilayah pemasarannya dilakukan pada lingkungan sekitar Desa Julah saja (lokal).
Disamping komoditi pertanian dan perkebunan masyarakat Julah juga mengusahakan peternakan. Peternakan merupakan salah satu mata pencaharian penduduk Desa Julah. Pada dasarnya, prinsip usaha pertanian dan usaha peternakan di Desa Julah tidak dapat dipisahkan atau bahkan sangat erat kaitannya satu dengan yang lainnya karena keduanya dapat meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas petani di desa. Disatu pihak kotoran hewan dapat digunakan sebagai pupuk tanaman di tegalan mereka. Pemanfaatan pupuk kandang dengan cara demikian tentunya memberikan keuntungan ganda pada petani, di pihak lain petani juga dapat memperkecil biaya produksi serta dapat meningkatkan kesuburan tanah.
Karakteristik lain yang menunjukkan identitas Desa Julah sebagai desa pesisir adalah terdapatnya kelompok nelayan dengan jumlah nelayan sebanyak 34 orang sudah berdiri sejak tahun 1990. Nelayan di Desa Julah mempunyai wadah organisasi dengan nama kelompok nelayan Sari Sagara yang diketuai oleh Ketut Dasi. Kelompok nelayan ini memanfaatkan potensi laut sebagai lokasi untuk mencari penghidupan dan memasok kebutuhan ikan untuk penduduk desa, sehingga memberikan kontribusi yang cukup dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
Aktivitas keagamaan masyarakat Desa Pakraman Julah sangat dipengaruhi oleh sektor ekonomi masyarakat. Apalagi untuk peningkatan status jabatan keagamaan menjadi seorang Jro Balian membutuhkan biaya yang cukup besar. Demikian juga pelaksanaan upacara ngaben, sehingga ada kalanya untuk melakukan pengkajian terhadap sosio-religious umat tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan finansial atau ekonomi masyarakat. Mencermati sumber pendapatan di atas, masyarakat Desa Pakraman Julah sebagaian besar memperoleh pendapatan dari hasil pertanian. Atas dasar mata pencaharian tersebut, upaya pemertahanan tradisi Jro Balian masih signifikan, karena dominasi para petani belum terlalu banyak dipengaruhi oleh tradisi negari (tradisi modern).      

2.2  Kebudayaan
Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
Bali merupakan tempat yang menyimpan banyak keunikan yang tidak ada di belahan dunia manapun. Selain unik pulau Bali juga merupakan pulau yang menyimpan berbagai keajaiban yang mampu menarik wisatawan asing datang ke Bali. Padahal jika kita bandingkan, pulau-pulau yang lain tidak kalah indahnya dengan pulau Bali.
Berbicara tentang keramahan orang bali,  masih banyak tempat yang dapat kita jumpai dengan masyarakatnya yang ramah serta sopan santunnya yang sangat bagus, namun yang menjadi pertanyaan, kenapa justru wisatawan asing lebih memilih Bali sebagai tempat untuk berwisata, inilah keajaiban dimiliki  oleh pulau Bali. Dalam benak selalu kita tanyakan kenapa wisatawan hanya ingat Bali ketimbang Indonesia? Apa yang mereka cari ke Bali ? Tentu kita akan terketuk hati kita untuk mengungkap dan mencari tau jawaban dari semua pertanyaan semua itu. Dan itupun ada jawabanya, orang luar lebih mengenal bali daripada Indonesia karena Bali adalah sebuah pulau yang ajaib dan menyimpan berbagai keajaiban yang tidak bisa ditemukan didaerah lain selain di Bali.
selain itu juga pulau Bali adalah pulau dewata yang dimana orang bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu setiap melaksanakan sesuatu dimulai dengan proses pemujaan kepada sang pencipta dan ini yang menyebabkan Bali memiliki pancaran pesona yang luar biasa yang membuat pulau Bali memiliki pancaran cahaya yang terang yang dapat membuat orang menjadi jatuh hati dengan pulau dewata ini. Hal ini dapat dibuktikan secara langsung misalnya banyak wisatawan asing yang pernah berkunjung ke Bali kemudian kembali ke Bali lagi dan menetap di Bali dengan menyatakan jatuh cinta terhadap pulau dewata ini.
Lalu apa yang orang cari ke Bali ? yang dicari orang ke Bali adalah Keunikan Bali yang menyimpan banyak keajaiban yang mempesona dan memikat hati para wisatawan asing untuk datang ke Bali. Orang luar tidak belajar agama Hindu di Bali karena asal Agama Hindu berasal dari India mestinya orang yang mau belajar tentang agama Hindu mestinya ke India, jadi yang dicari orang ke Bali adalah keunikan Bali itu sendiri.
Bali merupakan gudangnya kebudayaan yang menyimpan berbagai jenis kebudayaan yang tersebar diseluruh penjuru tanah Bali. Baik dari aspek sosial, dan budaya.  Keanekaragaman, kebudayaan Bali terbentuk  tidak pernah lepas dari Desa (tempat), Kala (waktu), Patra (keadaan/situasi). Desa (tempat) merupakan wilayah atau tempat yang dimana sangat mempengaruhi bentuk kebudayaan yang terlahir di tempat itu karena dipengaruhi faktor lingkungan itu sendiri baik dari letak geografis, iklim, cuaca. Yang dapat membentuk sebuah kebudayaan baru berdasarkan dari keadaan itu sendiri. Kala (waktu) merupakan faktor yang sangat mendukung untuk lahirnya kebudayaan baru. Karena waktu merupakan suatu keadaan yang menentukan sebuah perubahan sistem baik dari sistem sosial maupun sistem budaya. Sedangkan yang terakhir adalah Patra (Keadaan/Situasi) merupakan suatu keadaan yang memungkinkan lahirnya sebuah kebiasaan baru dan menjadi tradisi yang terjadi karena adanya hal-hal yang diluar dugaan alam pikir manusia dan berusaha memecahkannya dengan sebuah hal yang baru kemudian menjadi sebuah keyakinan baru yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi sebuah kebudayaan.
Sehingga dimana ada sebuah kondisi yang berbeda tentu akan ada pula pemecahan dari keadaan itu secara berbeda juga. Oleh karena itu kebudayaan yang ada di Bali itu juga tercipta oleh sebuah keadaan yang diwariskan secara menurun dan menjadikan sebuah tradisi yang sudah diyakini dan menjadikan sebuah kearifan lokal yang  harus dijaga serta dilestarikan. Dari keadaan inilah yang menyebabkan kebudayaan Bali menjadi beranekaragam  dari satu tempat dengan tempat yang lain. Kekuatan kebudayaan Bali terletak pada Agama Hindu Itu sendiri karena Agama Hindu adalah jiwa  dari kebudayaan itu sendiri.
Bali tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan Desa pakraman yang merupakan tempat terciptanya sebuah kebudayaan  karena desa pakraman terdapat unsur-unsur pembentuk sebuah kebudayaan yang dilahirkan dari tardisi di tempat tersebut yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi sebuah kebudayaan yang kita ketahui dan kita jaga sampai sekarang. Ada tiga hal yang dapat menunjang terbentuknya sebuah desa pakraman yaitu: wilayah, penduduk atau masyarakat,  tempat suci atau Khayangan Tiga. Unsur  inilah yang harus ada dari sebuah desa pakraman, jika kita hubungkan tiga unsur ini dalam agama Hindu ada sebuah ajaran yang memuat tentang penyebab kebahagian yang disebut dengan Tri Hita Karana Yaitu: tiga penyebab kebahagian. Antara lain, 1. Parahyangan (hubungan yang harmonis dengan Tuhan) tentu jika kita kaji dalam unsur pembentuk sebuah desa pakraman sudah pasti dalam desa pakraman harus ada tempat suci yang berfungsi sebagai tempat suci dan menghubungkan diri dengan Tuhan dan sebagai tempat untuk memohon anugrah, keselamatan dan kebahagian lahir maupun batin. Dan ini juga merupakan salah satu unsur yang dapat membentuk sebuah tradisi. Karena manusia sadar atas keterbatasan yang dimilikinya dengan itu manusia dalam mengucapkan syukurnya mengunakan cara-cara sesuai kemampuan yang dimilikinya. 2. Pawongan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia yang lainnya) jika kita hubungan dengan unsur pembentuk sebuah desa pakraman sudah barang tentu hal ini berhubungan erat karena tanpa ada masyarakat yang mau bersinergi antara satu dengan yang lainya dengan baik tentu akan menjadikan desa pakraman itu sendiri menjadi memiliki situasi yang kondusif. Jika dalam kehidupan masyarakat bersinergi dengan bagus tentu dalam sebuah desa pakraman itu menjadi desa yang aman dan tentram.
Dari hal ini kebudayaan kultur sosial akan tercipta karena dirasakan cukup bagus untuk dijadikan sebuah panduan kehidupan dan dilaksanakan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi dan cara sosial yang mereka terapkan memberikan efek yang sangat baik sehingga dari kebiasaaan itu menjadi sebuah tradisi dan mengikat bagi mereka. Misalnya tradisi sosial paruman, pernikahan dan tradisi-tradisi lain. 3. Palemahan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam) jika dihubungkan dengan unsur pembentuk desa pakraman, palemahan merupakan suatu hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan,  apabila dalam hubungan antara manusia dengan palemahan atau tempat wilayah tinggalnya terjadi hubungan yang kurang harmonis maka sudah tentu dalam melaksanakan kehidupan akan menjadi tidak baik. Oleh karena itu dalam desa pakraman tentu ada batas wilayahnya agar lebih mudah untuk mengetahui keadaan dari wilayah itu sendiri. Misalnya letak geografis suatu desa yang terletak di pegunungan tentu akan mempengaruhi pola kehidupan manusianya itu sendiri. Dan ini yang mengakibatkan terjadi sebuah kebiasaan yang mereka buat misalnya kebanyakan orang digunung rata-rata minum kopi, dan akhirnya menjadi sebuah tradisi ngopi dan berjalan dari waktu kewaktu dan diturunkan dari generasi ke kegenerasi. Jadi palemahan merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembentukan kebudayaan.
            Berbicara keunikan desa pakraman yang melahirkan berbagai jenis kebudayaan yang luar biasa tentu ini merupakan salah satu desa yang memiliki kultur budaya yang masih sangat tradisional dan sampai sekarang terus dilestarikan oleh generasi ke generasi dengan latar belakang keyakinan secara mendalam sehingga kultur budaya ini masih bertahan hingga sekarang. Desa julah merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan kearifan lokalnya yang sudah ada dari jaman dahulu dan masih bertahan hingga sekarang. Desa Julah adalah bukti dari perjalanan sejarah yang mempunyai banyak bukti baik tentang kehidupan nenek moyang dahulu dan sekarang masih terjaga  baik sampai sekarang.
Adapun cara melakukan upacara panca yadnya, bentuk bangunan sucinya, jenis tariannya, cara melakukan persembahnyangan, serta adanya bukti yang sangat kuat yaitu adanya sepuluh lembar prasasti yang berisikan bisama desa julah dan masih disucikan hingga sekarang.
            Oleh karena itu buku ini sangat penting keberadaannya untuk menambah pengetahuan baik dari pengetahuan religiusitas dan pengetahuan yang lainnya. Dalam Buku yang berjudul “Mengenal Kearifan Masyarakat Julah”, memaparkan tentang Keunikan desa julah yang masih bertahan sampai sekarang, dan merupakan sebuah refrensi untuk generasi kita yang akan datang dan sebagai pembanding antara tradisi-tradisi yang ada di Bali.

2.3 Tata Ruang Bangunan Perumahan Penduduk
            Bangunan perumahan seperti halnya desa-desa adat lain yang ada di Bali pada umumnya cepat terkena pengaruh gaya modern. Hal ini disebabkan karena tidak adanya awig-awig yang mengatur tentang tata letak bangunan perumahan pada desa-desa umumnya yang ada di Bali. Seperti halnya di desa adat Pengelipuran Kabupaten Bangli, bangunan perumahan di desa adat Julahpun tetap ajeg dan lestari, terutama tata ruang bangunan perumahan tradisional yang masih kokoh berdiri dengan asri, terutama pada areal masuk desa adat Julah. Jika diperhatikan perumahan yang berada di pinggiran jalan raya jurusan Singaraja Karangasem memang sudah kena pengaruh modern, tetapi jika kita memasuki kampung tradisional akan tampak berbeda dengan tata ruang bangunan perumahan yang berada di pinggir-pinggir jalan raya.
Foto 01
Pelang Tapal Batas Desa Adat Julah


Foto 02
Tata Ruang Bangunan Rumah Tradisional
Foto 03
Tata Ruang Bangunan Rumah Tradisional

Foto 04
Tata Ruang Bangunan Rumah Tradisional



BAB III
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT JULAH
            Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
Desa Julah adalah Desa yang menyimpan kearifan lokal yang sangat kuno dan masih bertahan sampai sekarang. Ini terjadi karena masyarakat Julah sangat menghargai warisan leluhurnya, dan ini adalah bentuk bhakti kepada leluhur dengan cara menjaga warisan kearifan lokal dengan sebaik-baiknya. Kearifan yang paling mudah dilihat adalah tempat suci yang ada antara lain Pura Dalem.
3.1    Kahyangan Tiga Desa Pakraman Julah
Kahyangan tiga yang dimiliki oleh Desa Pakraman Julah terdiri dari Pura Bale Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Ketiga pura tersebut berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Tri Murti, yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. Pura Desa dan Pura Puseh berada dalam satu kompleks. Kompleks tersebut dikenal dengan nama Pura Bale Agung. Pura Bale Agung sangat penting karena pada kompleks pura ini terdapat bangunan suci untuk memuja para dewa yang dikenal masyarakat Desa Pakraman Julah.
Bangunan suci (kahyangan tiga) yang berdiri di Desa Pakraman Julah pada dasarnya tidak terlepas dari sejarah yang pernah ditata oleh seorang brahmana besar Mpu Kuturan. Kedatangannya ke Bali tiada lain atas undangan dari Raja Udayana sebagai salah satu upaya untuk mengharmoniskan perbedaan pandangan berbagai sekte yang hidup dan berkembang di Bali pada abad 11 Masehi. Atas dasar tersebut, Mpu Kuturan menyiasati masalah tersebut dengan mendirikan kahyangan tiga. Uraian tersebut di atas pada intinya mengacu pada Ardana (1982:30) dan Covarrubias (1989:58) (dalam Titib, 2006:63), yang menyatakan bahwa,
Menurut tradisi, selama pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, seorang senapati yang bernama Mpu Kuturan dari Jawa Timur datang ke Bali. Dikatakan bahwa Mpu Kuturan adalah kakak Mpu Baradah yang hidup pada masa pemerintahan Raja Airlangga. Selanjutnya, disebutkan bahwa kedatangan Mpu Kuturan di Bali adalah untuk menata kehidupan beragama di daerah ini. Dalam penataan kehidupan beragama, ajaran Tri Murti segera disebar-luaskan dengan membangun kahyangan tiga (tiga pura) pada setiap desa pakraman di Bali. Kahyangan tiga terdiri dari tiga buah pura yang masing-masing disebut: (1) Pura Desa/Bale Agung, sebagai tempat memuja Dewa Brahma sebagai pencipta jagat raya dan semua isinya, (2) Pura Puseh, sebagai sthana (tempat) memuja Bhatari Durga (sakti Dewa Siwa), sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dalam fungsinya sebagai pelebur kembali jagat raya.

Sesuai dengan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa struktur Pura Bale Agung, Desa Pakraman Julah terbagi menjadi tiga mandala atau yang tidak asing disebut oleh umat Hindu di Bali sebagai tri mandala. Adapun penjabaran tri mandala tersebut adalah (1) Jeroan, yaitu dibagi menjadi dua, yakni Purian Kangin (timur) yang disebut Pura Desa (Bale Agung), dan Purian Kauh (barat) yang disebut Pura Puseh; (2) Jaba Tengah yaitu menunjukkan halaman yang bersifat sakral pada saat upacara keagamaan dan sebaliknya bersifat profan apabila tidak ada upacara keagamaan, karena itu banyak dijumpai bangunan pelengkap dan menunjang bagi kelancaran pelaksanaan ritual, dan (3) jaba sisi (teben), yang menunjukkan halaman yang bersifat profan karena tanpa dijumpai bangunan suci. Hal serupa juga didukung oleh Titib (2003:101-102) dengan menyatakan,
Pada umumnya struktur Pura dibagi atas tiga bagian, yaitu jaba pura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman dalam). Disamping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri atas tujuh halaman (tingkatan) seperti pura agung besakih. Pembagian pura yang berdasarkan atas konsepsi makrokosmos (bhuana agung), yakni; pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari “tri loka”, yaitu bhur loka (bumi), bwah loka (langit), swah loka (swarga). Pembagian pura atas dua halaman (tingkatan) melambangkan alam atas (urdhah) dan alam bawah (adhah) yaitu akasa dan pertiwi. Sedangkan pembagian pura atas 7 (tujuh ) bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan “saptaloka” yaitu tujuh lapisan atau tingkatan alam atas yang terdiri dari; bhur loka, bhuwah loka, swah loka, maha loka, jana loka, tapa loka, dan satya loka. Sedangkan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbol dari “ekabhuvana” yaitu penunggalan antara alam bawah dan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal, sedang pembagian (loka) pada pelinggih-pelinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan “prakerti” (unsur materi alam semesta), sedangkan pembagian yang pertikal adalah simbolis “purusa” (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakerti dengan purusa dalam struktur pura merupakan simbolis dari pada “super natural power”. Hal itulah orang-orang dapat merasakan adanya getaran spiritual atau super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa) dalam sebuah Pura.

Berbeda dengan Pura Dalem. Pura Dalem Desa Pakraman Julah berada di sebelah utara pemukiman warga, dekat dengan pantai Desa Julah. Pura Dalem terdiri dari satu kompleks dengan dikelilingi oleh tembok pembatas. Dalam satu komplek areal pura dalem terdiri dari Dalem Kawitan, Dalem Bali, dan Dalem Jawa. Sebagai umat Hindu, krama Desa Pakraman Julah yang mempercayai konsep pemujaan terhadap leluhur dengan memfungsikan Pura Dalem Kawitan sebagai tempat pemujaan leluhur termasuk upacara ngutang punduh (ngelinggihang dewa pitara) yang menjadi salah satu rangkaian upacara ngaben.
Pura Dalem desa adat Julah dibagi menjadi tiga bagian yaitu Pura Dalem Kawitan, Pura Dalem Beneh/Bali, Pura Dalem Jawa. Pura Dalem Kawitan mempunyai bentuk yang sangat unik, berbentuk limas kecil dan memiliki lobang. Menurut Sidemen (wawancara 15 Agustus 2014), dinyatakan bahwa pada zaman dulu di pura Dalem Kawitan terdapat batu hitam yang menyerupai Lingga Yoni. Karena ulah orang jahil yang ingin mencoba dan membuktikan apakah batu itu benar benar keramat  atau memiliki kekuatan gaib, maka batu itu dibawa ke laut serta dilempar ke dalam laut. Stelah batu itu dilempar ke laut, maka terjadilah hal yang di luar nalar manusia, di mana air laut membentuk pusaran air yang besar dan membuat batu tersebut menghilang. Kini masyarakat Julah sangat mempercayai kekeramtan batu tersebut, sehingga atas dasar kepercayaan dan keyakinan yang kuat, maka dibuatkan tempat berupa limas, sebgai pengganti batu yang telah dilempar ke laut tersebut. Jika dikaitkan dengan sejarah desa Julah di mana warga/krama desanya tidak mengenal adanya kasta dan Triwangsa, maka dalam runtutan uapacara kematian Pura Dalem Kawitan ini menjadi tempat penyerahan sang atma kepada Ida Hyang Widhi Wasa. 
Tegak odalan atau upacara di Pura Dalem ini dilaksanakan pada pinglong sasih keenem. Pelaksanaan piodalan di Pura Dalem ini dilakukan dari pagi hingga sore hari, mengingat tradisi yang ada, bahwa pelaksanaan upacara piodalan ini tidak boleh sampai larut malam. Adapun keunikan yang masih dilaksanakan pada saat upacara di pura Dalem ini adalah tidak diperbolehkan pengunaan babi guling sebagai sarana upakara, serta tidak boleh menyalakan lampu pada saat piodalan.
Fungsi Pura dalem Kawitan (hasil wawancara  Ketut Sidemen) adalah sebagai tempat menghormati roh leluhur penduduk asli orang Julah dan hingga kini Pura Dalem Kawitan ini digunakan sebagai tempat penyerahan Sang Hyang Aatma kepada pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu fungsi Pura Dalem Bali, adalah sebagai tempat pemujaan kepada para leluhur orang Bali yang menjadi warga desa Julah serta mengikuti tradisi dan aturan yang berlaku di desa Julah. Sedangkan fungsi Pura Dalem Jawa, adalah sebagai tempat pemujaan  para leluhur orang luar Bali yang menetap atau tinggal di desa Julah. Pura Dalem Jawa ini memiliki keunikan di mana banguan suci ini menghadap ke utara. Ini kaitanya dengan pura dalem Solo yang ada di Jawa. Selain itu dalam upacara ngangkid (tiga bulanan) menggunakan banten yang ditujukan ke pura Dalem Solo dengan sarana banten ditaruh di atas jukung-jukungan yang terbuat dari kloping kemudian di lepaskan dipantai.
Foto 05
Pura Dalem Kawitan










Foto 06
Pura Dalem Bali

Foto 07

Pura Dalem Jawa


3.2       Pura Bale Agung
Pura Bale Agung desa Julah merupakan pura yang memiliki fungsi yang sangat penting, bagi masyarakat Julah, karena dalam segala bentuk kegiatan ritual keagamaan ataupun sangakepan desa, selalu dilaksanakan di pura Bale agung. Pura Baleagung dibagi atas tiga bagian sesuai konsep tri mandala, seperti halnya pura-pura lain yang ada di Bali, terdiri dari jaba sisi, Jaba tengah, dan Jroan (halaman luar, halaman tengah dan halaman utama)
Sebelum memasuki jaba tengah, terdapat kori agung yang sangat megah di mana dalam kori agung ini terdapat lukisan lukisan seperti tokoh pewayangan, lukisan naga, lukisan orang primitif, serta di samping kanan dan kirinya tedapat roda yang jumlah palangnya; sebelah kanan berjumlah delapan yang mempunyai makna sebagai aliran budha, dan di sebelah kiri berjumlah 9  bermakna sebagai aliran Hindu. Jadi dapat diartikan bahwa kemungkinan konsep dua roda ini adalah melambangkan paham siwabudha. Pada bagian atasnya terdapat mangkok cina yang indah serta bagian atap menggunakan duk (ijuk), sehingga hal ini yang membuat kori agung memiliki kesan yang sangat angker dan sakral.
Kemudian dijaba tengah terdapat bale dawa. Bale dawa merupakan sebuah bale yang panjang yang memiliki ukuran ±22m yang biasanya di gunakan untuk mempersiapkan sarana upakara yang akan dilaksanakan, bale dawa ini terdapat di bagian timur. Di sebelah bale dawa terdapat bale penganteb. Bale penganteb di gunakan untuk tempat Jro Kubayan memimpin upacara (nganteb) pada saat upacara dilaksanakan di Pura Bale Agung. Di sebelah bale penganteb terdapat bale dama. Bale dama memiliki ukuran yang hampir sama dengan bale dawa, akan tetapi fungsinya berbeda, di mana bale dama digunakan untuk menata nasi kawesan yang akan dibagikan kepada semua krama tegak, bale dama terletak dibagian barat. Selain itu juga di jaba tengah terdapat meru tumpang lima yang disebut dengan Sanggar Agung dengan hiasan tambahan pajeng pontang yang memiliki lima tingkatan. Sanggar Agung ini merupakan tempat pemujaan Sang Hyang Panca Dewata/Ida Ratu Sanggar Tawang, dan digunakan sebagai tempat untuk meminta petunjuk sebelum melakukan sesuatu.
Pada bagian Jeroan terbagi atas dua bagian yaitu disebut dengan istilah Puri Kanginan dan Puri Kawanan dan juga bisa disebut Pura Puseh dan Pura Desa. Meru tumpang pitu terletak di puri kawanan dan dugunakan untuk memuja Ida Ratu Puseh Didasar Madue Karang kawis. Adapun pelaksanaan piodalan atau tegak piodalannya jatuh pada sasih kaulu yang dikenal oleh masyarakat Julah dengan istilah saba mubuh atau ngusaba mubuh, yaitu suatu upacara yang sarana upakaranya menggunakan kelor bubuh ketan, sedangkan pada sasih kedasa nyudang (sasih sada pada umumnya)  dilaksanakan saba atau ngusaba nyanyah. Keunikan dari ngusaba nyanyah ini adalah bahwa sarana upakara yang dipergunakan untuk upacara semuanya serba dinyanyah atau digoreng tanpa minyak.
Meru tumpang solas terletak di puri kanginan adalah tempat memuja Ida Ratu Gede Gunung Agung. Pelaksanaan piodalannya jatuh pada sasih katiga atau tepatnya pada purnama sasih katiga, dalam tradisi masyarakat Julah disebut dengan istilah saba odalan.
Meru tumpang 3 (tiga/telu) terdapat di purian kangin,  merupakan tempat pemujaan bagi Ida Ratu Gede Penyengceng  konon menurut keyakinan krama Julah leluhur terdahulu bahwa krama Julah tidak Meliki kemampuan untuk membuat meru tumpang 21 (dua puluh satu/selikur) maka atas dasar kesepakatan bersama di pecalah meru tumpang 21 (selikur) tersebut menjadi tiga bagian yakni, meru tumpang 7 (pitu), meru tumpang 11 (solas) dan meru tumpang 3 ( telu).
Foto 08
Kori Agung





Foto 09

Meru Tumpang Lima

Foto 10
Meru Tumpang Tujuh
Foto 11

Meru Tumpang Solas dan meru tumpang telu

3.3       Sanggah Misi
Desa Julah merupakan desa yang identik dengan hal magis/gaib dan masyarakatnya secara turun-temurun sangat mempercayai/meyakini hal ini, bagaimana tidak mempercayainya, karena di desa Julah terdapat suatu bangunan suci yang mempunyai fungsi khusus yang disebut Sanggah Misi. Bangunan suci ini disungsung oleh keturunan Purusa saja, dan dibangun berdasarkan atas petunjuk leluhur, misalnya jika ada yang mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh, dan jika ada masyarakat yang mendapatkan benda benda secara gaib misalnya batu permata, keris, tombak, arca maupun benda-benda yang memiliki kekuatan gaib. Atas dasar itulah maka kumpulan keluarga Purusa harus membuat Sanggah Misi  sebagai tempat penyimpanan  benda-benda yang mereka dapatkan secara gaib.
 Sanggah Misi tidak bisa disamakan dengan Sanggah Dadya,  di mana tujuannya agar tidak ada pengelompokan baik dari kasta maupun profesi yang akhirnya menghancurkan  rasa  kekeluargaan di antara warga desa Julah. Keunikan lainnya dari bangunan ini adalah  leluhur yang dipuja pada bangunan tersebut dikenal dengan sebutan Dane Wayah, tidak seperti pada umumnya yang menyebut dengan sebutan Dewa maupun Bhatara.
Orang Suci yang memiliki wewenang untuk memuput upacara yang dilangsungkan di Sanggah Misi disebut dengan istilah Balian (Balian Nganteb). Untuk menjadi seorang Balian Nganteb, biasanya adalah anak yang paling tua atau orang yang dituakan, sehat secara lahir dan batin, dan harus sudah melewati beberapa tahapan upacara yaitu upacara memarek, mepaum, dan nyampi yang dilaksanakan di Pura Bale Agung, Pura Pengaturan.
Makna dari upacara memarek adalah bahwa sang yajamana (sang pembuat uapacara) secara lahir batin sudah siap untuk menjadi abdi (parekan) Ida Bhatara. Kemudian tahap kedua upacara Mepaum yaitu sebuah upacara yang melibatkan seluruh krama desa agar seluruh krama desa menjadi tahu bahwa sang yajamana siap untuk menjadi seorang balian. Upacara ini dilaksanakan dengan sarana satu ekor kambing dan empat ekor babi. Hal ini berlaku bagi orang yang memiliki satu istri, sedangkan yang memiliki dua istri akan membayar penempuh. Penempuh ini ini sesuai kelipatan dari sarana yang disebutkan di atas. Upacara yang terakhir yang paling menentukan untuk menjadi seorang Balian adalah upacara nyampi. Upacara Nyampi dilaksanakan dengan menghaturkan godel (anak sapi) 1 ekor dan 1 guling babi, yang dilakasanakan di Pura Pengaturan. Upacara ini bertujuan untuk memperoleh ilmu dan taksu dalam bidang Balian dan upacara ini dilaksanakan di Pura Pengaturan di hutan (bukit). Upacara ini berarti sebuah ritual yang dilaksanakan dengan memohon kekuatan secara gaib agar mendapatkan ilmu yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang Jro Balian. Sebenarnya kata nyampi dalam bahasa Bali sering disamakan dengan istilah nampi (menerima). Adapun pengertian lain tentang Upacara Nyampi ini, Kata Nyampi berasal dari kata Sampi (sapi) yang maknanya bahwa dalam proses upacara ini menggunakan seekor anak sapi (godel) sebagai sarana upakara yang pokok.
Menyimak sarana upakara yang digunakan dalam berbagai ritual yang dilaksanakan di desa adat Julah, maka dapat diasumsikan bahwa masyarakat  Julah adalah penganut paham Siwa Sidhanta, dengan bukti bahwa di desa ini dalam proses upacaranya mengunakan binatang korban. Siwa merupakan dewa yang memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam Agama Hindu. Dalam kisah Siwa Purana, Dewa Siwa mempunyai seorang bhakta yang sangat setia yang bernama Nandini (lembu Nandini) dan di dalam upacara ini seekor anak sapi juga disamakan dengan Nandini. Jadi dapat di ambil filosofinya  untuk menjadi abdi Tuhan hendaknya seperti seorang nandi, yaitu menjalankan hidup untuk mengabdi dengan setia dan penuh keikhlasan. Jadi dalam proses upacara Nyampi dapat diartikan bahwa tujuan dari upacara ini adalah untuk menjadi abdi Ida Hyang Widhi yang siap secara lahir dan batin secara niskala. Sedangkan secara sekala  prosesi upacara ini memerlukan biaya yang cukup besar dan pembiayaanya dikeluakan dengan biaya sendiri. Jadi mengingat bahwa untuk menjadi orang suci ini perlu adanya suatu pengorbanan besar, khususnya dalam hal materi, secara tidak langsung sang yajamana akan berfikir seribu kali untuk terjerumus kembali ke hal-hal yang negatif  yang dapat menodai kewajibanya sebagai balian. Setelah melewati upacara inilah sang yajamana akan sah menjadi seorang Balian Nganteb serta  berhak untuk memuput upacara di Sanggah Misi.




Foto 12
Sanggah Misi

3.4       Tari-tarian Sakral
Jika dilihat dari perkembangan sejarah kepariwisataan Bali, maka Bali begitu dikenal di seantero dunia, karena seni dan budayanya. Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukirnya. Covarrubias mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan-lepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan (penabuh). Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun kelapa muda (janur) dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang. Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin amatir, yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.[5] Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi relief kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.
Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya  Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.[8]
Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, namun dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.
Demikian juga halnya dengan masyarakat Julah. Walaupun masyarakatnya tinggal di lintas jalan antar kabupaten dan provinsi yang selalu dipengaruhi oleh berbagai hal berbau IPTEK dan globalisasi, namun masyarakat Julah tetap eksis menjaga dan melestraikan tradisi leluhurnya yang maha adi luhung. Salah satu bukti bahwa masyarakat Julah tetap melestarikan budaya adiluhung leluhur mereka adalah dengan sangat lestarinya berbagai macam kesenian nenek moyang dan sampai saa6 ini masih bertahan dan bahkan sampai dunia kiamat pun.
            Adapun tari-tarian sacral yang masih hidup dan lestari di desa Julah adalah:

3.4.1    Tari rejang Renteng
Rejang adalah tarian upacara keagamaan bagi masyarakat Hindu Bali, diperkirakan sudah ada sejak jaman pra Hindu. Tarian ini dalam pementasan berfungsi sebagai persembahyan suci untuk menyambut kehadiran para dewata yang turun ke dunia dari Kahyangan untuk menyaksikan upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu.
Tarian rejang merupakan simbol widyadara dan widyadari yang menuntun Ida Bhatara tedun (Tuhan turun ke dunia). Tarian ini biasanya difungsikan dalam rangkaian upacara melasti atau Ida Bhatara turun ka Paselang atau ke dunia. Khusus untuk tarian rejang renteng yaitu salah satu bentuk tarian rejang sakral memiliki tanda-tanda khusus, yaitu adanya Jempana Linggih Ida Bhatara yang dituntun dengan benang panjang yang diikatkan pada masing-masing pinggang penari. Di Bali hingga saat ini ada bermacam jenis tarian rejang yang hidup lestari di beberapa desa adat/desa Pakraman yang keberadaannya tetap lestari dan dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya.
            Untuk lebih menambah wawasan kita tentang tarian rejang, maka dikutip beberapa pendapat para pakar seni tari tentang tarian rejang sebagai berikut :
            Dibia, (1977/1978 : 34 ) seorang pakar tari sekaligus dosen di ISSI denpasar menegaskan bahwa tarian rejang adalah sebuah tarian tradisional yang gerak-gerik tariannya sangat sederhana (polos), yang merupakan suatu tarian masal yang biasa dipentaskan dalam rangkaian upacara keagamaan di pura-pura, yang ditarikan dengan penuh rasa pengabdian serta rasa bhakti yang tinggi dan tulus ikhlas kepada bhatara dan bhatari. Tarian ini biasanya ditarikan oleh wanita dengan menggunakan pakaian adat upacara sesuai dengan pakaian adat upacara masing-masing daerah.
            Sementara itu Putra, (tt:9) menyatakan bahwa rejang adalah tarian yang para penarinya adalah para deha atau gadis-gadis yang belum menikah yang ditarikan pada waktu menuntun Ida Bhatara atau upacara keagamaan yang berhubungan dengan nuntun.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Julah sebagai masyarakat yang masuk kategori desa tua, maka tarian rejang tetap dilestarikan hingga saat ini. Salah satu tarian rejang sacral yang masih lestari tidak seperti halnya di desa –desa lain yang ada di Bali, di mana tarian rejang ini sudah banyak yang punah adalah tari rejang renteng. Tari Rejang Rentang merupakan tari yang biasanya paling awal di pentaskan pada saat upacara piodalan di pura Bale Agung. Tarian ini hanya dapat ditarikan oleh para istri dari dulun desa (tetua adat) yakni istri Jro Kubayan dan Jro Bau,  yang jumlah penarinya ada enam orang. Selain itu tarian ini juga berfungsi sebagai cara untuk menunjukkan kepada seluruh krama desa bahwa para istri dari dulun desa masih sehat jasmani dan rokhani. Hal ini dilakukan karena untuk menjadi seorang dulun desa harus memiliki kesehatan jasmani serta rokhani dan jika syarat ini tidak dapat dipenuhi maka dulun desa akan diganti.




Foto 13
Tari Rejang Renteng

3.4.2    Tari Baris Panah
Tari baris adalah salah satu dari jenis tari yang ada dari berbagai jenis tari upacara yang sangat penting dan masih tumbuh subur di hampir semua desa adat/desa pakraman yang ada di Bali, serta selalu difungsikan sebagai pengiring atau pelengkap upacara keagamaan. Tari baris diduga berasal dari kata baris yang artinya deret, leret, berjajar atau berbanjar. Baris juga bisa berarti berbaris bagi setiap pasukan atau prajurit yang merupakan kesatuan tentara yang dipersiapkan untuk menghadapi peperangan. Tentara yang berbaris melambangkan serdadau-serdadu kerajaan di jaman dahulu, yang dipersiapkan oleh para raja untuk melindungi kerajaannya.
            Tarian baris di samping berfungsi sebagai tarian upacara, juga berfungsi sebagai tari kepahlawanan. Tarian baris biasanya dipertunjukkan atau ditarikan oleh sekitar 4 orang penari sampai sejumlah 64 orang penari laki-laki. Fungsi ritual dari tarian baris ini adalah menunjukkan tentang kematangan sepasukan tentara dalam keakhliannya memainkan senjata.Tarian baris memiliki ciri khas, yaitu pada setiap penarinya memabwa sejata ( perlengkapan perang ) seperti tombak, pedang, bedil perisai, panah serta senjata-senjata lainnya, sesuai dengan jenis tarian baris yang dipentaskan.
            Menurut Bandem, (tt : 24 ) mengungkapkan bahwa dalam kidung Sunda sebuah puisi sejarah dinyatakan bahwa kurang lebih tahun 1550 disebutkan adanya 7 (tujuh) buah/macam bebarisan yang dipentaskan pada saat pembakaran mayat di kerajaan Majapahit, setelah selesai perang bubat, serta raja Hayam Wuruk ikut menyaksikan tarian tersebut. Dan sekarang, sisa-sisa bebarisan itu masih tetap hidup dan lestari di pulau Bali dan jumlahnya hampir mencapai 30 tarian baris, yang masing-masing memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri.
            Di Bali baris melambangkan kepahlawanan. Dalam kegiatan ritual kegiatan Hindu seperti upacara Maprani di pura Batur Kintamani dan upacara agama Makincang-kincung atau upacara piodalan di daerah Badung juga dilaksanakan upacara perang-perangan. Pada tarian baris dengan jelas tersirat adanya unsur kepahlawanan pada aspek tarian dan gerak serta kostum yang digunakannya serta para penari pada saat menari mempergunakan alat-alat perang seperti tombak,panah, pedang dan sebagainya.
            Bandem, ( 1979 : 67 }menjelaskan bahwa tarian baris adalah salah satu dari berjenis-jenis tari upacara yang sangat penting di Bali dan bahkan di dunia. Tari baris berasal dari kata bebarisan yang berarti deret, leret, jajaran dan banjar. Baris juga berarti pasukan/prajurit, merupakan kesatuan tentang yang telah dipersiapkan untuk berperang. Tentara ini melambangkan serdadu kerajaan di jaman dahulu yang dipakai oleh raja-raja untuk melindungi kerajaan mereka di masa kekacauan. Baris dalam hal ini berfungsi sebagai tari kepahlawanan.
            Pandji, ( tt : 4 ) menyatakan bahwa tari baris adalah sebuah tarian upacara yang ditarikan oleh penari-penari peria, dengan tidak mempergunakan lakon (lelampahan), umumnya tarian ini dipertunjukkan untuk melengkapi upacara Dewa Yadnya. Tarian baris ini tergolong ke dalam jenis tari wali, karena tari tersebut berfungsi sebagai sarana pelengkap upacara keagamaan.
            Dari sekian banyak jenis tarian baris yang masih hidup berkembang serta dilestarikan keberadaannya di Bali adalah : Tari baris Gede, baris Ketekok Jago, baris Presi, baris Omang, baris Bajra, baris Jojor, baris Pendet, baris Tombak, baris Demang-demung, baris Kupu, baris Lutung, baris Kelempa, baris Ireng, baris Nuri, baris Cendek, baris Kuning, baris Gayung, baris Taruna, baris Bedil, baris Juntal, baris Welanda, dan baris melampahan, serta masih banyak lagi jenis tarian baris yang lainnya.
            Mencermati pemaparan tentang tari baris di atas, di desa Julah hingga saat ini tetap lestari tarian baris yang keberadaannya diwarisi hingga saat ini, serta merupakan warisan tari baris sacral para leluhur masyarakat desa adat Julah. Adapun beberapa tarian baris yang tetap digunakan sebagai pengiring pelaksanaan upacara yadnya di desa adat Julah adalah tari baris panah.
Tarian ini ditarikan oleh empat orang laki-laki yang belum menikah. Tarian ini  ditarikan setelah tari cekutil pada saat piodalan di pura Baleagung dilaksanakan. Cri khas tarian ini adalah penarinya membawa panah dan masih bujang. Tarian ini mengandung makna yang sangat dalam yakni merupakan simbolisasi dari penerapan catur Asrama yaitu tahapan brahmacari asrama. Seperti dikatahui bahwa.Catur Asrama adalah merupakan konsep ajaran Hindu tentang tingkatan hidup manusia yang harus ditempuh selama hidup. Tahapan yang pertama adalah brahmacari asrama, kedua grehasta asrama atau tahapan hidup berumah tangga, tahapan ketiga adalah wana prasta yaitu tahapan hidup untuk mengasingkan diri kehutan untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian dan tahapan keempat adalah Biksuka atau Sanyasin. Tahapan Brahmacari Asrama  merupakan tahapan hidup bagi umat Hindu untuk menuntut ilmu pengetahuan, di mana pada saat melaksanakan brahmacari asrama diharapkan untuk selalu belajar dan menambah wawasan serta mengasah kemampuan berpikir atau manah. Dalam tarian ini brahmacari dilambangkan denpemuda yang masih bujang serta membawa atribut panah merupakan simbolisasi dari kecerdasan pikiran. Kecerdasan pikiran diibaratkan sebagai tajamnya anak panah di dalam manusia menuntut ilmu pengetahuan, karena pada saat masih muda di mana pikiran sedang tajam karena tidak memikirkan hal-hal yang lain selain belajar diharapkan dapat mengasah kemampuan untuk memperoleh berbagai macam pengetahuan.
Foto 14
Tari Panah


3.4.3    Tari Baris Cekutil
Tari cekutil adalah tarian yang merupakan simbol dari patih dengan wijil dengan atribut membawa tamiang. Tarian ini ditarikan oleh dua orang laki laki.
Foto 15



















Tari Cekuntil


3.4.4    Tari  Baris Cendakan
Tarian ini ditarikan oleh empat orang laki-laki yang masih bujang dengan membawa atribut tombak. Tarian ini melambangkan jiwa kepahlawanan untuk selalu menjaga keamanan wilayah, atau dengan kata lain bahwa tarian ini juga melambangkan keberanian bagi para pemuda di dalam membela wilayah desanya.
Foto 16
Tari Baris Cendakan

3.4.5    Tari Baris Dadap
Tari dadap adalah tari yang ditarikan oleh delapan orang penari laki-laki dengan atribut tari membawa jukung-jukung kecil. Tarian ini merupakan tari yang dapat mengenang kita bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut yang handal dan mampu mengarungi lautan yang luas dari delapan penjuru mata angin. Rupanya tarian ini sebagai symbol kebesaran dan kegigihan para nenek moyang kita di dalam mengarungi ganasnya samudra untuk memperjuangkan hidup hingga selamat sampai ke Bali.
Foto 17
Tari Baris Dadap

3.4.6    Tari  Baris Jojor
Tarian ini ditarikan oleh dua belas orang laki-laki dengan membawa atribut tombak sebagai senjata. Melihat dari komposisi dan atribut yang digunakan, maka tarian ini lebih melambangkan kegiatan berburu sebagai kebiasaan para leluhur kita pada zaman dahulu, dalam menyambung hidup biasanya dilaksanakan kegiatan berburu.
Foto 18
Tari Jojor









3.4.7    Tari Baris Presi
            Tari Baris Presi adalah tarian yang ditarikan oleh 6 orang penari laki-laki dengan menggunakan atribut perisai atau tameng. Melihat dari atribut yang digunakan maka tarian ini melambangkan seorang prajurit yang setia untuk mengawal sang raja serta melindungi dirinya sendiri
Foto 19
Tari Baris Presi







3.5 Seni Musik / Tabuh
Seni musik atau yang dikenal dengna seni tabuh, hampir dimiliki oleh semua desa pakraman yang ada di Bali. Hal ini disebabkan karena kehidupan keagamaan umat Hindu di Bali tidak akan lengkap jika dalam pelaksanaan upacara keagamaan yang dilaksanakan tanpa diiringi dengan alunan musik gamelan. Hal ini berkaitan dengan makna filosofis yang terkandung di dalam ritual keagamaan Hindu bahwa di dalam aktivitas ritual keagamaan Hindu yang dilaksanakan akan dikatakan lengkap jika terdapat unsur-unsur musik, vokal, dan tari, selain sarana upakara yang memang wajib disiapkan oleh setiap umat Hindu dalam pelaksanaan ritual keagamaan yang dilaksanakan.
Seperti dipahami bahwa dalam ritual Hindu yang dilaksanakan, maka selain ada sarana upakara dengan berbgai perlengkapannya, maka ada pendukung dari unsur manusia dal;am pelaksanaannya, yaitu Sang Sadaka, Sang Widya dan Sang Yajamana (Tri Manggalaning Yadnya). Pada saat Sang Sadaka memuput upacara, maka tampak beliau mengucapkan Weda Mantra, dengan sikap tangan ( mudra ) yang beliau gerakkan, serta bunyi (suaran bajra) yang selalu berdenting untuk mengikuti alunan weda mantra yang diucapkan oleh sang sadaka. Dari aktivitas Sang Sadaka memimpin upacara sebenarnya mengandung makna bahwa Puja mantra yang dilakukan oleh Sang Sadaka diimplementasikan ke dalam bentuk nyanyian suci ketuhananan (Dharmagita) yang mutlak harus disuarakan dalam ritual keagamaan apapun bentuknya, mudra (gerakan tangan diimplementasikan ke dalam gerakan tari sakral, serta suaran bajra (suara genta) diimplementasikan ke dalam bentuk suara musik gamelan.
Jika hal di atas tidak dilakuakan di dalam ritual keagamaan Hindu yang dilaksanakan, maka ritual atau upacara keagamaan yang dilaksanakan belum bisa dikatakan lengkap. Oleh sebab itulah salah satu komponen dari ritual keagamaan yang diuraikan di atas, yaitu musik gamelan harus diperhatikan oleh umat Hindu dalam rangkaian pelaksanaan ritual keagamaan yang dilaksanakan.
Tabuh yang sering juga disebut dengan istilah karawitan yang penampilannya dinyatakan dengan tata garap lagu-lagu gamelan yang dirangkai sedemikian rupa, sehingga menimbulkan alunan nada yang harmonis dan enak didengarkan. Musik gamelan yang perwujudannya didasarkan atas peraturan-peraturan yang meliputi cara atau teknik memukul, tutupan (tetekep) tempo dan matra, dinamika (keras lirihnya suara gamelan) disesuaikan dengan sifat-sifat lagu yang dimainkan. Dalam musik gamelan dikenal adanya sifat-sifat lagu seperti sedih, manis, keras, keras manis dan sebagainya, sesuai dengan ungkapan jiwa penggarapnya.
Untuk jenis gamelan gambang, slonding, gender wayang, angklung, joged bumbung dan yang sejenisnya tidak memakai istilah tabuh sebagai ukuran panjang pendek. Hal ini disebabkan karena seni tabuh memiliki pengertian yang lebih mengkhusus yaitu ukuran panjang pendeknya sebuah lagu dalam satu gong (finalis) yang disertai dengan aturan jatuhnya pukulan instrumen yang berfungsi sebagai pemangku irama seperti kajar, dalam gamelan pegambuhan kemong dalam gamelan pelegongan, semara pegulingan dan bebarongan, kempul dan kempli dalam pegongan.
Seni tabuh, seperti halnya seni yang lain juga memiliki dua wajah, yaitu wajah yang umum dan wajah yang khusus. Dalam wajah yang umum, seni tabuh dimanfaatkan semata-mata untuk melatih keterampilan memukul gamelan dalam usaha pelestarian budaya serta pengembangan bakat berkesenian, namun dalam proses penggunaannya selalu terikat dengan unsur-unsur upacara keagamaan, seperti pada saat gamelan mau ditabuh, sebelumnya harus didahului dengan inisiasi upacara keagamaan berupa persembahan peras gong ( sagi-sagi gong ). Dalam wajahnya yang khusus seni tabuh atau gamelan selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan, karena dipandang memiliki unsur sakral serta dalam penampilannya hanya dimengerti dan dipahami oleh masyarakat pendukungnya.
Termasuk ke dalam wajah seni tabuh yang umum adalah gong kebyar, gong angklung kreasi dan sebagainya, yang pada umumnya dipentaskan dengan tujuan untuk mendapatkah upah serta biasanya dipergunakan untuk menyambut kedatangan para tamu tatkala ada kunjungan ke desa-desa atau ke pulau Bali.
Termasuk jenis gamelan yang disakralkan, terutama jenis gamelan yang masih hidup dan lestari keberadaannya hingga saat ini adalah : gong gede, gong beri, gong luwang, slonding, caluk, Saron, Trompong Beruk, Tambur, Caruk dan sebagainya. Unsur kesakralan gamelan juga dapat dilihat di sampiong dari jenis gamelannya, juga dapat dilihat dari penabuh yang memukul gemelan. Para pemukul gamelan sakral pada umumnya adalah orang-orang yang khusus ditunjuk atau ditugasi ( sekaa) secara khusus, terutama orang-orang yang sudah diinisiasi upacara keagamaan ( diwinten ) atau diupacarai secara agama Hindu serta sesuai dengan tradisi pendukungnya.

Lontar Prakempa.
Berbicara masalah seni tabuh tentu berkaitan dengan masalah bunyi. Dalam lontar prakempa yang diciptakan oleh Bhagawan Wiswakarma, yang berawal dari ide beliau tentang bunyi (uara ) 8 penjuru dunia yang sumbernya berada pada dasar bumi. Suara-suara bumi itu dibentuk menjadi sepuluh (10) nada, yaitu 5 nada disebut nada pelog, dan 5 nada lagi disebut nada selendro. Nada-nada di atas berkaitan dengan Panca Tirtha dan Panca Gni, yaitu dua sumber keseimbangan hidup manusia.
Laras pelog berhubungan dengan Panca Tirtha sebagai manifestasi dari Bhatara Semara, sedangkan laras selendro mempunyai hubungan dengan Panca Gni sebagai manifestasi dari Dewi Ratih. Dari 10 nada yang dijiwai oleh Dewa asmara (percintaan )( Semara Ratih) bersumber pada 7 nada yang urutannya sebagai berikut : ding, dong, deng , ndung, dung, dang, nding. Ketujuh nada tersebut merupakan sumber nada dalam gamelan Bali. Dalam Lontar Prakempa bunyi ketujuh nada tersebut disebut genta pinara pitu (bunyi berjarak tujuh) Di samping terciptanya pelog 5 nada, selendro 5 nada dan pelog 7 nada ( genta pinara pitu ), juga ada nada berdasarkan tri aksara ( ang, ung, mang ) dan selendro 4 nada yang berkaitan dengan Sanghyang Catur Lokapala ( Indra, Yama, Kwera dan Waruna ).
Dalam konsep pengider Bhuana disebutkan urutan nada dengan Dewanya amsing-masing seperti : (1) Nada dung ( utara ) Dewanya Wisnu, (2) Nada Dang (timur) Dewanya Iswara, (3) Nada Ding (selatan) Dewanya Brahma, (4) Nada Deng ( barat) Dewanya Mahadewa, (5) Nada Dong ( tengah) Dewanya Siwa, (6) Nada Ndeng ( Barat laut ) Dewanya Sangkara, (7) Nada Ndung ( timur laut ) Dewanya Sambhu, (8) Nada Ndang (tenggara ) Dewanya Mahesora dan (9) Nada Nding (barat daya) Dewanya Rudra)

            Jika diperhatikan sesuai petunjuk Lontar Prakempa, maka para penabuh gamelan adalah merupakan kegiatan memainkan atau memutar memutar Dasa Dewa atau Dasa Aksara, yang artinya para penabuh disimbolisasikan sedang memutar jalannya dunia ini, yang sebenarnya merupakan kewenangan Ida Hyang Widhi Wasa tatkala mengendalikan dunia dengan segala isinya. Oleh karena demikian maka barang siapa
 (seniman tabuh) jika berkreativitas dibidang seni karawitan tanpa memahami isi lontar Prakempa, maka mereka akan kena kutuk pada saat kelahirannya nanti akan menjadi binatang.
            Menurut Lontar Prakempa barungan gamelan yang ada seperti berikut memiliki fungsi yang berlainan se4suai dengan tempat, waktu dan kondisi, seperti berikut :
1.      Gamelan Slonding : digunakan untuk mengiringi puja para pendeta yang sedang mengadakan tapa samadhi di hutan-hutan
2.      Gamelan Meladprana: digunakan untuk mengiringi tarian gambuh ritual baik di sorga maupun di Istana Raja-raja.
3.      Gamelan Semar Pegulingan :digunakan sebagai pengiring tari pependetan khususnya pada upacara yang dilaksanakan di Istana Para Raja
4.      Gamelan Bebonangan : Gamelan ini sering disebut dengan gamelan Ketug Bumi digunakan untuk mengiringi upacara Bhuta Yadnya ( Pengeruwatan/Pebersihan) dan gamelan-gamelan lainnya berfungsi mengiringi upacara perkawinan ( manusa Yadnya ), Pengabenan dan Nyekah ( Pitra Yadnya, serta Upacara Pujawali ( Dewa Yadnya ), upacara suka duka dan upacara pesta lainnya di Istana Raja.

Keunikan gamelan di desa adat Julah adalah bahwa gamelan tidak boleh disentuh oleh sembarangan orang. Gamelanpun tidak diperbolehkan untuk digunakan sebagai alat untuk mengadakan latihan. Namun yang ajaib adalah bahwa jika ada pelaksanaan upacara, maka siapa yang mau ngaturang ayah (menabuh) diperbolehkan, dan para penabuh hanya melihat notasi (ndang, nding, ndong, ndeng, ndung) yang telah dipajang dihadapan tempat menabuh. Para penabuh pada saat menabuh hanya melihat notasi nada pada tempat yang sudah disiapkan serta melihat dan memukul gamelan berdasarkan notasi tabuh yang sudah disediakan. Dalam kaitannya dengan pengiring upacara, maka para penabuh tidak perlu mengadakan latihan, karena begitu ada pelaksanaan upacara para penabuh langsung menabuh dengan berpedoman pada notasi yang sudah disiapkan.

3.6       Sarana Upakara
            Dalam pelaksanaan upacara di desa adat Julah, penggunaan sarana upakaranya sangat sederhana, hal ini sangat berbeda dengan desa-desa lain yang ada di Bali pada umumnya. Dalam pelaksanaan upacara keagamaan masyarakat  menggunakan sarana antara lain :
3.6.1    Kawesan Sangkepan
Kawasan sangkepan: Sarana kawasan sangkepan ini digunakan pada saat proses pesangkepan krama desa adat (pertemuan adat) dan kawasan sangkepan ini disiapkan oleh saye (petugas pi9ket) desa. Kawasan ini terbuat dari daun pisang sebagai alas kemudian diisi kacang komak, kelapa parut, porosan pinang yang dipotong kecil. Kawasan sangkepan ini akan dibagikan kepada krama tegak pada saat sangkepan akan berakhir dan dibawa ke rumahnya masing-masing untuk dimasak dijadikan lauk dan porosannya di lebar.
Foto 20

Kawesan Sangkepan
3.6.2    Canang
Canang adalah salah satu sarana upakara yang dipergunakan oleh umat Hindu di Bali dalam pelaksanaan upacara yadnya. Canang pada umumnya merupakan symbol dari perwujudan dewata nawa sangga, yang mana isi dari canang tersebut biasanya adalah bunga, daun, dan porosan. Tetapi lain halnya dengan canang yang ada didesa Julah yang memiliki bentuk dan makna tersendiri. Canang ini disusun atas beberapa bagian yaitu yang pertama taamas segi empat yang merupakan lambang tapak dara atau suastika yang mempuyai arti keseimbangan, yang ke- dua daun pisang yang dipotong besar dan kecil bermakna sebagai lambang buana agung dan buana alit, yang ke- tiga adalah daun sirih tiga lembar merupakan simbolisasi dari tri murti atau simbul dewa wisnu karena sirih memiliki warna hitam atau hijau, yang ke- empat daun intaran 3 lembar merupakan simbolosasi dari dewa Mahadewa karena warna daun intaran adalah kuning, ke- lima kojong pamor merupakan lambang dari dewa iswara, dan yang ke- enam yaitu 3 buah pinang yang merupakan lambang dewa brahma. Jika semua ini sudah tersusun menjadi satu maka canang ini akan menjadi simbolisasi Ida Hyang Widhi Wasa.
Foto 21
Canang
3.6.3    Sanganan Penyeneng
Sanganan penyeneng adalah banten yang paling dominan digunakan didesa adat Julah dan banten yang paling utama dipergunakan dalam pelaksanaan upacara yadnya. Adapun sarana yang terdapat dalam banten Sanganan penyeneng antara lain :
1.      Nasi, telur, Gerang, daun intaran (cungcung), pesan.
2.      11 ketan ,  injin kukus.
3.      11 gamis “kojong yang berisi parutan kelapa, kacang komak”.
4.      11 potongan ayam kukus.
Wakul yang di dalamnya berisi :
1 Pitik mepanggang,(ayam panggang) 1 iyingan, telur, nasi, tumpeng 2 buah, pudak, pisang.






Foto 22
Sanganan Penyeneng

3.6.4    Pajegan Gede Tingkat Desa
Pajengan ini dibuat diga jenis dan dapat dilihat dari bentuk sampiannya di mana bentuknya berbeda ketiganya, isi banten ini ada 11 jenis jajan dengan jumlah 3 buah. Jika kita lihat ini mengacu pada 33 dewa.




Foto 23
Pajegan Gede Tingkat Desa

3.6.5    Linggian/Linggihan
Sarana ini digunakan sebagai linggih tuhan, linggian ini dibuat dengan mengunakan beras, gantusan kacang komak,benang tukelan,uang kepeng 225.canang mendak terdiri dari canang biasa ditambah hiasan dan base lunggan yaitu pohon sirih dengan daunnya kemudian daunya diisi porosan kemudian dugulung. Hal ini tentu berbeda dengan yang digunakan oleh masyarakat Hindu di bali pada umumnya, karena untuk masyarakat umum banten ini disebut daksina atau daksina linggih, yang berfungsi untuk sthana Ida Hyang Widhi Wasa.
Foto 24
Linggian/Linggihan

3.6.6    Banten Bokor
Banten bokor adalah sebuah banten yang alasnya mengunakan bokor dan tutupnya mengunakan bokor. Adapun isi canang ini adalah berupa buah-buahan, dan diisi tamiang. Bokor berarti ukuran jika dikaitkan dalam tatanan uapacara dapat diartikan aturan. Jadi canng bokor merupakanan simbolisasi dari ketaatan seseorang atau kepatuhan seseorang terhadap aturan-aturan  dalam melakukan proses upacara keagamaan.
Foto 25
Banten Bokor

3.6.7        Caru
Caru secara etimologi berasal dari kata “Car” yang artinya cantik, caru adalah suatu prosesi upacara yang mana hal ini di tujukan untuk para bhuta kala yang mana dalam tujuannya untuk menyomya (menetralisir hal egative ke hal positif). Caru pada umunya ditempat lain dilaksanakan pada hari-hari tertentu saja, sedangkan di desa adat Julah Caru tersebut dilaksanakan setiap hari, pada waktu sore menjelang malam atau yang di sebut “sandikaon”.  Adapun sarana caru yang dipergunakan didesa adat Julah antara lain :
1.      Daun pisang.
2.      Nasi kepel.
3.      Buah pinang.
4.      Daun sirih.
5.      Air.
6.      Api takep.

Foto 26
caru


3.7       Tradisi Lelangan atau Pasar Kaget
Lelangan biasanya dilakukan oleh krama desa adat Julah dan dipimpin oleh juru lelang kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada saat rahinan Tilem, proses pelelangan ini hanya di ikuti oleh krama desa lanang (laki-laki). Adapun yang dilelang antara lain hasil bumi/hasil tanah (laba pura), misalnya buah nangka, pisang, kelapa dan berbagai jenis kacang-kacangan. Hasil lelangan ini dimasukan kedalam uang kas krama desa. Proses lelangan ini dilakukan dengan dua cara yaitu barang yang milik desa dileleng dengan membuka harga lelang dari harga murah dampai harga paling mahal. Kemudian leleng yang digunakan untuk keperluan desa dilakukan dengan cara memberikan harga penawaran paling mahal keharga yang paling rendah. Misalnya dari desa akan melelang membuat ingke untuk keperluan desa. Dari pihak juru leleng akan memberikan harga yang tertinggi  missal 3000 rupiah per ingka kepada krama desa kemudian krama desa akan menawar dengan harga lebih murah dari 3000 rupiah sampai pada akhirnya yang krama desa yang ppenawarannya paling murah akan mendapatkan lelangan itu.
Juru lelang mempunyai keweangan yang sangat tinggi dalam pelaksanaan lelangan. Juru lelang diangkat berdasarkan paruman desa, jadi kedudukan dan fungsi juru leleng sangat dihargai. Jika ada sesuatu hal yang menyangkut lelangan yang bersifat darurat untuk keperluan desa maka juru leleng akan mengambil tindakan yang cepat dengan memukul kulkul tiga kali secara berturut-turut dan mengumpuklan krama desa. Keputusan lelangan akan dikatakan sah apabila peserta lelangan diikuti minimal 10 orang. Jika kurang maka hasl lelang tidak sah dan bisa dibatalkan.

Foto 27
Foto Lelangan



3.8       Sumuh
Desa adat Julah memiliki tempat pemandian yang sangat unik, yang sering disebut dengan sumuh, Sumuh ini terletak di sebelah utara desa dekat pantai. Sumuh ini terbagi menjadi menjadi 4 bagian, yaitu yang pertama tempat untuk mengambil air suci (air ini biasanya digunakan untuk minum dan membuat tirtha), kedua untuk pemandian laki-laki, ketiga untuk pemandian perempuan, dan keempat untuk memandikan hewan. Hinggakini keberadaan sumuh masih dengan fungsinya. Menurut warga desa Julah bahwa sumuh ini dulunya adalah tempat pemandian para raja sebelum melakukan pertemuan. Adapun sesuatu yang unik yang dapat kita lihat yaitu adanya jejak kaki yang cukup besar yangdidiyakini oleh warga Julah adalah jejak kaki Patih Iwa.





Foto 28
Jejak Kaki Kebo Iwa
Foto 29
Sumuh Suci

Foto 30
Sumuh Permandian Laki-laki
Foto 31
Sumuh Permandian Perempuan

Foto 32
Sumuh Pemandian Hewan

3.9       Daun intaran
Menurut kepercayaan masyarakat Desa Julah, daun intaran dipercaya berfungsi sebagai lambing perlindungan dari Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, masyarakatt Desa Julah ketika bepergian jauh, selalu menggunakan daun intaran. Selain dipercaya sebagai daun perlindungan, daun intaran juga dapat digunakan sebagai sarana upakara.

Foto 33
Daun Intaran








BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
            Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
4.1.1        Dalam kemajuan IPTEK dan derasnya era globalisasi seperti sekarang ini, masyarakat desa adat Julah tetap eksis mempertahankan kearifan local warisan budaya leluhurnya. Hal ini tentu sangat sulit untuk dilakukan, mengingat pola kehidupan manusia pada era global seperti sekarang ini yang serba pragmatis dan serba instan.
4.1.2        Warisan budaya lokal yang maha adiluhung di desa adat Julah satupun tidak ada yang lenyap karena pengaruh budaya asing akibat pengaruh yang sifatnya merusak, merongrong, karena kekuatan adat dan budaya yang tetap dipertahankan sampai saat ini.
4.1.3        Berbagai macam bentuk kesenian maupun struktur bangunantradisional tetap diupayakan untuk dilestarikan keberadaannya, sehingga desa adat Julah boleh dikatakan sebagai desa yang masyarakatnya sangat kuat mempertahankan desa tradisonal yang sudah jarang kita dapatkan di Pulau Bali dan bahkan di Indonesia.
4.2 Saran
Melalui tulisan ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:
4.2.1 Kepada masyarakat desa adat Julah agar tetap menjaga keajegan dan kelestarian local genius atau tradisi lokal yang diwarisi dengan baik sampai saat ini. Eksistensi desa tradisional bali yang disandang oleh desa adat Julah agar tetap dipertahankan dari berbagai pengaruh budaya asing yang dapat merongrong dan merusak tatanan masyarakat tradisional yang maha adiluhung.
4.2.2 Kepada prajuru desa adat Julah agar tetap membimbing warganya untuk terus menjaga lingkungan (aspek Tri Hita karana) agar keberadaan desa tradisional Julah tetap bertahan hingga akhir zaman
4.2.3 Kepada Instansi terkait seperti PHDI baik dari tingkat desa sampai ke tingkat pusat, MPLA (Majelis Pembinaan Lembaga Adat), Instasnsi dari Tk.Kecamatan sampai Tk.Provinsi Bali agar terus memberikan pembinaan-pembinaan kepada masyarakat desa adat Julah untuk tetap menjaga kelestarian desa adat Julah







Bandem, I Made. 1976.Tari Baris Dance. Denpasar : Serba Guna Press

Boni. 2011. “Indonesia, ‘Halo Soekarno” dalam Kompas, 16 April 2011, Jakarta.

..........................., 1981. Kaja and Kelod Balinese Danche in Transtition. Kualalumpur : Oxford University Press

Belo, Jane. 1960. Trance in Bali. New York : Columbia University Press

Covarrubis, Miguel, 1936. The Theatre in Bali. Theatre Arts Mounthly 20 ( T 34 ) : 575-569 .New York : Theatre Arts Inc.

Dahana, Radhar Panca. 2011. “Saya Mohon Ampun” dalam Kompas, 20 April 2011,     Jakarta.
Hargens, k

Dibia, Wayan. 1977. Perkembangan Seni Tari Bali. Denpasar : Proyek Sasana Budaya Bali

Dinas, Kebudayaan Bali. 1977. Pesta Kesenian Bali, Denpasar : Dinas Kebudayaan Bali
Gobyah, Ketut. 2003. “Tegaknya Panca Yadnya Ciri Ajegnya Bali”. Denpasar: Bali Post (Diakses Pada
Goris, R. 2012. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan Bali. Denpasar: Udayana University Press Rabu Umanis, 26 Maret 2003).
Hartoko, Dick.1994. Manusia dan Seni. Yogyakarta : Penerbit Yayasan Kanisius

Jati, Wasisto Raharjo. 2011. “Pembangunan Gerus Kearifan Lokal” dalam Kompas,    20 April 2011, Jakarta.

Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Kumara Jaya, I Gede Ngurah. 1985. Tari Baris Nawa Sang di Desa Baturiti. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.

Muhtadi, Dedi. 2011. “Ketika Kearifan Lokal Tergerus Zaman” dalam Kompas 23 April 2011, Jakarta.

Putra, I Gusti Agung Gede.tt. Cudamani Tari Wali. Denpasar : Bali Offset

Putra, I Gusti Agung Gede.1980. Cudamani Tari Wali. Denpasar :  Percetakan Bali

Putri, Nyoman. 1986 Tari Sanghyang Celeng di Banjar Jabngu Duda. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.

Read, Herbert. 1954. The Meaning Of Art. Richard Clay and Company Ltd.-Sufflock

Ridwan, N.A. (2007). “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol.5, (1), 27-38.

Sri Nadi ,Ni Luh Putu. 1986. Tari Baris Jago di Banjar Jukut Paku Denpasar. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia

Srinatih, I Gusti Ayu. 1982. Tari Baris Memedi di Desa Banjaran Tengkudak. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.

Srinati, Ni Made. 1985. Tari Baris Panah di desa Jinang Dalem Buleleng. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.

Tim Penyusun. 1998. Tari Wali. Denpasar : Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali


Apriyanto, Y. dkk. (2008). “Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan”. Makalah Pada PKM IPB, Bogor.






DAFTAR NAMA – NAMA INFORMAN
1.      Nama                           : I Ketut Sidemen S.Pd
Jenis Kelamin              : Laki-Laki
Umur                           : 60 th
Jabatan                        : Kelian Adat
Alamat                         : Desa Julah, Dusun Kawanan, Gang Rurung Kumpi

2.      Nama                           : Nyoman Sri Kaji
Jenis Kelamin              : Laki-laki
Umur                           : 60 th
Jabatan                                    : Pengurus desa adat
Alamat                                    : Desa Julah, dusun Kawanan

3.      Nama                           : Wayan Gasin
Jenis Kelamin              : Laki-laki
Umur                           :  85 th
Jabatan                                    : Jero Kubayan
Alamat                                    : Desa Julah, Banjar Kanginan

4.      Nama                           : Ketut Darmayasa
Jenis Kelamin              : Laki-laki
Umur                           : 49 th
Jabatan                                    : Sekretaris Adat
Alamat                                    : Desa Julah, Banjar Kanginan

5.      Nama                           : Ketut Sada
Jenis Kelamin              : Laki-laki
Umur                           : 34 th
Jabatan                                    : Sekretaris Adat
Alamat                                    : Desa Julah, Banjar Kawanan


2 komentar:

  1. sekian tahun saya tumbuh berkembang menjadi seorang wanita dan warga yang lahir di desa julah, baru saat ini saya sangat jelas dan mengatahui asal usul desa saya sendiri.terima kasih untuk semua yang menyusun cerita yang berdasarkan fakta zaman sekarang yang mana desa julah masih memegang erat semua culture budayanya.

    BalasHapus
  2. Kiriman ini sangat bagus, meskipun ada sebagian yang masih diringkas, tapi sudah mewakili semua, ini akan menjadi referensi sejarah untuk kami anak muda generasi desa julah, Salam!

    BalasHapus