BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) menuntut manusia untuk berpikir praktis, instan dan pragmatis. Hal ini
disebabkan karena manusia sudah dicekoki dengan berbagai hal yang sifatnya
cepat menghasilkan uang, tanpa berpikir apa akibat dari perbuatan yang
dilakukannya. Jika hal ini dibiarkan, maka suatu saat nanti khususnya umat
Hindu di Bali dan umat manusia di Indonesia pada umumnya akan kehilangan
identitas sebagai bangsa yang beradab, yang mencintai budaya lelehurnya. Dalam
hal ini pemerintah melalui instansi terkait telah berupaya untuk menangkal arus
globalisasi melalui perkembangan IPTEK yang semakin deras melalui upaya
pewarisan kearifan local kepada masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat
Hindu di Bali khususnya.
Walaupun ada upaya pewarisan kearifan lokal dari generasi ke
generasi, tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal akan tetap kukuh menghadapi
globalisasi yang menawarkan gaya hidup yang makin pragmatis dan konsumtif.
Secara faktual dapat kita saksikan bagaimana kearifan lokal yang sarat
kebijakan dan filosofi hidup nyaris tidak terimplementasikan dalam praktik
hidup yang semakin pragmatis.
Dalam realitas Indonesia kini, secara ekstrem dapat dikatakan
bahwa kearifan lokal yang kita miliki mirip benda pusaka, yang kita warisi dari
leluhur, kita simpan dan kita pelihara, tetapi kita tidak mampu
mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata sehingga pusaka tersebut sia-sia
merespons tantangan zaman yang telah berubah.
Dalam kaitannya dengan kearifan lokal dan realitas Indonesia kini, Kompas edisi
20 April 2011 menampilkan dua tulisan yang relevan, yakni “Saya Mohon Ampun”
oleh Radhar Panca Dahana dan “Pembangunan Gerus Kearifan Lokal” oleh Wasisto
Raharjo Jati. Dalam tulisannya, Radhar Panca Dahana mencemaskan perilaku para
elit negeri ini yang antara sadar dan tidak sadar telah menjadi agen
kepentingan dan keserakahan ekonomi dan politik negara maju (sehingga Indonesia
hanya dijadikan sekadar pasar sambil dikuras habis sumber daya alamnya). Sementara
itu, Wasisto Raharjo Jati mengemukakan bahwa pembangunan di Indonesia yang
terpaku pada pertumbuhan ekonomi semata telah mengabaikan kearifan lokal dan
menimbulkan potensi konflik vertikal dan horizontal di kemudian hari, karena
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, secara tidak langsung pemerintah juga
telah menjejalkan “budaya uang” sehingga cenderung mengurangi dan meniadakan
kearifan dan budaya lokal.
Kearifan lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks
Indonesia yang memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya
yang pada akhirnya melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia,
kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan hidup yang mewujud dalam
berbagai bidang kehidupan (tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur,
kesehatan, tata lingkungan, dan sebagainya).
Kearifan lokal adalah warisan masa
lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra
tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya,
tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan
pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-mati
(sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan
lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi, nasib kearifan lokal mirip pusaka
warisan leluhur, yang setelah sekian generasi akan lapuk dimakan rayap.
Sekarang pun tanda pelapukan kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal
acapkali terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya
lebih berpihak pada tekanan dan kebutuhan ekonomi.
Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan di Jawa Barat, mitos
pengeramatan hutan yang sesungguhnya bertujuan melestarikan hutan/alam telah
kehilangan tuahnya sehingga masyarakat sekitar dengan masa bodoh membabat dan
mengubahnya menjadi lahan untuk berkebun sayur (Kompas, 23 April
2011). Ungkapan Jawa tradisional mangan ora mangan waton kumpul (‘biar
tidak makan yang penting berkumpul [dengan keluarga]’) sekarang pun makin kehilangan
maknanya: banyak perempuan di pedesaan yang berbondong-bondong mendaftarkan
diri untuk bekerja di mancanegara dengan risiko terpisah dari keluarga daripada
hidup menanggung kemiskinan dan kelaparan.
Kearifan lokal hanya akan abadi kalau terimplementasikan dalam kehidupan
konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah
berubah. Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara,
misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong royong dan
kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu,
perlu implementasi ideologi negara (yakni Pancasila) dalam berbagai kebijakan
negara. Dengan demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai
senjata-tidak sekadar pusaka yang membekali masyarakatnya dalam merespons dan
menjawab arus zaman.
I Ketut
Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www. balipos.co.id,
didownload 17/9/2003, mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg
dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci
firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai
yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Geriya
dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun,
http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan
keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi
nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat
bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Secara
filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat
lokal/pribumi (indigenous knowledge
systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil
olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di
sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang
terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk
pemecahan masalah sehari-hari (daily
problem solving).
Kearifan
lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu
(budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat
lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture).
Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain.
Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain.
Permendagri
Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem
nilai yang dianut oleh komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di daerah,
yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di
dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat
memenuhi kehidupan warga masyarakatnya”.
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya
lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life)
yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup.
Kearifan lokal
menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup BAB
I Pasal 1 butir 30 adalah adalah “nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari”.
Selanjutnya
Ridwan (2007:2) memaparkan: Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom
dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi)
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang
terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian
tersebut, disusun secara etimologi, di mana wisdom
dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam
bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau
peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikansebagai kearifan/kebijaksanaan Local secara spesifik menunjuk pada
ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang
interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu
pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan
fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting.
Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat
seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face
to face dalam lingkungannya. Sebuah setting
kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai.
Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi
acuan tingkah laku mereka.
Keraf (2010: 369) bahwa kearifan lokal adalah
semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat
kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut
pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi
yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman
dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua
penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional
ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik
terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan Yang Gaib.Hal tersebut
menunjukkan bahwa:
Pertama,
kearifan tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula, yang dikenal
sebagai pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga milik
komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat
individual.Kedua, kearifan tradisional, yang juga berarti
pengetahuan tradisional, lebih bersifat praktis, atau “pengetahuan bagaimana”.
Pengetahuan dan kearifan masyarakat adat adalah pengetahuan bagaimana hidup
secara baik dalam komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan
secara baik dengan semua isi alam. Pengetahuan ini juga mencakup bagaimana
memperlakukan setiap bagian kehidupan dalam alam sedemikian rupa, baik untuk
mempertahankan kehidupan masing-masing spesies maupun untuk
mempertahankan seluruh kehidupan di alam itu sendiri. Itu sebabnya,
selalu ada berbagai aturan yang sebagian besar dalam bentuk larangan atau tabu
tentang bagaimana menjalankan aktivitas kehidupan tertentu di alam ini.Ketiga,
kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan
pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.
Alam adalah jaring kehidupan yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan
bagian yang terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait
satu sama lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus merupakan
suatu pengetahuan menyeluruh. Keempat, berdasarkan kearifan
tradisional dengan ciri seperti itu, masyarakat adat juga memahami semua
aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Kegiatan bertani, berburu dan menangkap
ikan bukanlah sekedar aktivitas ilmiah berupa penerapan pengetahuan ilmiah
tentang dan sesuai dengan alam, yang dituntun oleh prinsip-prinsip dan
pemahaman ilmiah yang rasional. Aktivitas tersebut adalah aktivitas moral yang
dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral yang bersumber dari
kearifan tradisional. Kelima, berbeda dengan ilmu pengetahuan
Barat yang mengkalim dirinya sebagai universal, kearifan tradisional bersifat
lokal, karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkret. Kearifan dan
pengetahuan tradisional selalu menyangkut pribadi manusia yang partikular
(komunitas masyarakat adat itu sendiri), alam (di sekitar tempat tinggalnya)
dan relasinya dengan alam itu. Tetapi karena manusia dan alam bersifat
universal, kearifan dan pengetahuan tradisional dengan tidak direkayasapun
menjadi universal pada dirinya sendiri. Kendati tidak memiliki rumusan
universal sebagaimana dikenal dalam ilmu pengetahuan modern, kearifan
tradisional ternyata ditemukan di semua masyarakat adat atau suku asli di
seluruh dunia, dengan substansi yang sama, baik dalam dimensi teknis maupun
dalam dimensi moralnya.
Menurut Teezzi, dkk (dalam Ridwan, 2007:3)
mengatakan bahwa "akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud
menjadi tradisi atau agama". Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan
lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan
kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal
biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah
berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam
nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu
menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian
hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka
sehari-hari.
Memperhatikan
pernyataan yang didukung oleh beberapa sumber seperti dipaparkan di atas, maka
salah satu desa adat yang sangat ajeg dan lestari keraifan lokalnya sampai saat
ini serta didukung oleh masyarakatnya walaupun hidup di tengah-tengah era
global dan kemajuan IPTEK adalah kearifan lokal masyarakat Julah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Desa Adat Julah
Desa Julah
merupakan sebuah desa yang berpenduduk Bali
Mula, di mana sampai saat ini seluruh anggota masyarakatnya di dalam
melaksanakan praktek-praktek keagamaan menggunakan sarana-sarana upakara yang
sangat sederhana. Kesederhanaan sarana upakara yang digunakan bukanlah
semata-mata karena di desa Julah sulit ditemukan sarana upakara seperti
digunakan oleh masyarakat Hindu Bali umumnya, tetapi karena masyarakat tidak
berani merubah dan sangat taat untuk mewarisi tradisi leluhurnya yang dianggap
mengandung unsur supra natural power.
Hal seperti
digambarkan di atas sesuai dengan hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan bahwa jika sarana
upakara yang digunakan diganti maka akan berakibat niskala, apakah terjadi mala petaka di desa atau hal-hal yang
bersifat niskala lainnya yang sulit diterima secara akal sehat. Sebagai
illustrasi bahwa penggunaan canang
atau sarana sembahyang yang tidak menggunakan bunga seperti canang yang digunakan oleh masyarakat di
Bali pada umumnya, tetapi di dalam pembuatan canang hanya menggunakan daun sirih (base), daun intaran, buah pinang, dan kapur sirih.Jika dilihat dari
unsur yang ada pada canang di atas, tampaknya hampir sama dengan
canang/pecanangan yang dimakan oleh orang-orang tua zaman dahulu.
Berbicara
tentang sejarah desa Julah tentu tidak akan bisa lepas dari cerita rakyat
(legenda) yang sudah diceritakan secara turun-temurun. Seperti halnya Cerita I
Belog dan Men Bekung merupakan sebuah cerita yang mengisahkan tentang adanya
desa Julah ini. Dalam cerita ini diceritakan I Belog adalah orang yang bodoh
yang berteman dengan seekor anjing hitam (kuluk
selem) dan pekerjaannya adalah pencari ikan. Pada suatu saat I Belog
mencari ikan di sebuah telaga yang cukup besar dengan peralatan yang sangat
sederhana yaitu sebuah tombak (tumbak), karena hanya berbekal tombak saja,
akhirnya I Belog tidak mendapatkan satu ekor ikanpun dan akhirnya I Belog
pulang dengan tangan hampa.
Di tengah
perjalanan pulang, I Belog bertemu dengan Pan Bekung, karena I Belog kelihatan
murung dan tidak membawa ikan satupun, maka Pan Bekung pun bertanya kepada I
Belog, “I Belog kenapa mukamu murung? dan Belog pun menjawab Pan Bekung aku
dari pagi mencari ikan di telaga namun tak satu ikan pun ku dapat”. Akhirnya
Pan Bekung terketuk hatinya dan merasa iba pada I Belog. Kemudian Pan Bekung
menyuruh I Belog untuk pergi kerumah Men Bekung. Dan I Belog pun tanpa pikir
panjang pergi ke rumah Men Bekung. Sesampainya di rumah Men Bekung, I Belog
mengutarakan masalah yang dia hadapi, akhirnya Men Bekung memberikan umpan dan
kail pancing untuk digunakan oleh I Belog untuk mencari ikan.
Keesokan harinya
I Belog tidak sabar untuk pergi memancing, dengan membawa peralatan mancing
yang diberikan oleh Men Bekung. Akhirnya dengan pancing dan umpan pemberian Men
Bekung, maka keesokan harinya setelah I Belog memancing kemudian I Belog
mendapatkan hasil tangkapan ikan yang cukup banyak. I Belog pun merasa bahagia
dengan hasil tangkapannya. I Belog bukan orang yang rakus dan bukan orang yang
tidak tahu terima kasih, ia pun memberikan setengah hasil tangkapannya kepada
Men Bekung, dan hal itu terus di lakukan oleh I Belog pada setiap I Belog
melakukan aktivitas memancing ikan dan selalu diberikannya kepada Men Bekung.
Keluguan I Belog
membuat Men Bekung menjadi iba, karena ketulusan hati I Belog kepada Men
Bekung, Men Bekung pun memberikan sebuah cincin permata yang indah dan memiliki
kekuatan magis/gaib, kepada I Belog. Berkat menggunakan cincin itu I Belog pun
mendapatkan hasil tangkapan yang sangat banyak dan berlimpah, dan karena itu I
Belog pun menjadi orang kaya.
Pada suatu hari
ikan yang ada di sisi tepi telaga semakin sedikit, I Belog pun memutuskan untuk
memancing ke tengah telaga dengan menggunakan rakit, dan anjing hitamnya pun
dengan setia menunggu di sisi telaga. I Belog dengan asiknya memancing dan
tanpa disadari cincin yang digunakan oleh I Belog diambil oleh be jagul (ikan
jagul). I Belog pun gundah gulana karena cincin yang diberikan oleh Men Bekung
hilang diambil oleh Be Jagul. I Belog pun sedih dan bergegas ketepian dengan
wajah murung. Akhirnya setelah pulang memancing I Belog menceritakan kejadian
itu kepada Kuluk Selem (Anjing Hitam). Kuluk Selem pun memberikan solusi untuk
mengadakan sayembara dan sayembara itupun dilakukan. Kuluk Selem mengumpulkan
para ikan dan semua hewan yang ada di sekitar telaga. Setelah semua hewan
berkumpul, Kuluk Selem dan I Belog menyampaikan sayembaranya. I Katak ikut
dalam sayembara itu, I katak mencoba untuk mencari cincin itu. Tapi sayangnya
cincin itu ditaruh dalam sebuah kotak kayu oleh Be Jagul, oleh karena itu I
Katak tidak bisa mengambil cincin permata itu. Mendengar berita itu I Belog
menjadi sangat khawatir dan sedih, kabar ini pun sampai di telinga I Bikul, I
Bikul pun dengan tulus iklas membantu I Belog untuk mengambil cincin permata
itu. I Bikul dengan kemampuan mengeratnya berhasil melubangi kotak kayu itu dan
kemudian mengambil cincin permata tersebut dan menyerahkannya kepada I Belog. I
Belog pun senang karena cincinnya telah didapatkan kembali. Sesuai dengan janji
yang diucapkannya I Belog bertanya kepada I Bikul, ”Bikul karena engkau sudah
berhasil mengambil cincin permataku maka apapun permintaanmu akan kuberikan”.
Karena ketulusan hati I Bikul untuk menolong I Belog, I Bikul pun tidak meminta
apapun. Karena kebaikan I Bikul luar biasa maka I Bikul diberi penghargaan
dengan gelar Jero Ketut. Berdasarkan cerita di atas di Desa Julah ada sebuah
upacara Ngerarung Bikul, di mana upacara tersebut dilaksanakan pada Sasih
Kepitu Rainan Pinglong, di mana krama Desa Adat Julah diwajibkan untuk membawa
seekor tikus dan dikumpulkan di Pura Bale Agung Julah dan kemudian di upacarai
serta di rarung ke laut. Di dalam awig-awig disebutkan bagi karma Desa Adat
Julah yang tidak membawa seekor tikus akan dikenakan denda sebelas uang kepeng.
Lanjut cerita I
Belog mencari ikan ditepi laut karena ikan yang ada di Telaga itu sudah habis.
Berbekalkan umpan dan cincin permata iapun mencari ikan di pesisir. Tanpa
sengaja I Belog mendapatkan seekor ikan buntek emas. I Belog sangat menyayagi
ikan itu saking sayangnya Ia pun membawa
ikan itu kemana Ia pergi. Pada suatu hari
ketika I beleog memacing di pantai I Belog bertemu dengan Wong Prau (orang Perahu). Melihat
keanehan ikan yang dibawa I Belog maka Wong
Prau pun tertarik dengan ikan yang dimiliki oleh I Belog. Wong Prau mencoba mendekati I Belog dan
menawarkan untuk menukar ikan bunteknya dengan sebuah batu permata yang disebut
dengan manik sekecap. Batu permata yang dibawa oleh wong Prau itu memiliki kelebihan yaitu apapun yang diminta
pemiliknya akan terpenuhi. I Belog pun mencoba kekuatan batu manik sekecap itu.
Dia pun meminta sepiring nasi dan tanpa tahu sebabnya nasi itupun muncul secara
tiba-tiba di depanya. I Belog pun sangat tertarik untuk memiliki batu manik
sekecap itu dan menukarkan dengan ikan buntek mas kesayangannya. I Belog selalu
menekuni pekerjaaannya menjadi pencari ikan dan ia selalu mencari ikan.
Suatu saat
ketika ia berjalan di pesisir pantai hendak memancing I Belog bertemu lagi
dengan Wong Prau yang terdampar.
Melihat tingkah I Belog yang aneh Wong
Prau terdampar pun tertarik dan mendekati I Belog. Melihat I Belog
mendapatkan sesuatu dengan meminta saja, Wong Prau menjadi semakin ingin
memiliki kekuatan itu, akhirnya Wong Prau pun mencoba untuk menukarkan kipas
emasnya dengan batu manik sekecap milik I Belog. Dengan kekuatan kipas emas itu
wong prau memperaktekan kekuatan kipasnya. Karena tertarik oleh kekuatan kipas
itu I Belog pun mencoba kekuatan dari kipas emas itu dengan mengambil sepotong
ranting kayu yang kering kemudian dikipasi dan kayu itu menjadi hijau dan
tumbuh yang dinamakan dengan kayu menengen.
Jika dilihat dari mitos tersebut jika dihubungkan desa Julah, maka di desa
julah ada sebatang pohon yang besar yang dipercaya bahwa pohon itu tumbuh
akibat dihidupkan dengan kipas emas oleh I Belog.
Dengan kipas emas itu I Belog menjadi orang yang ego
dan menjadi seorang Balian (dukun)
yang sangat sakti, di mana ada orang yang sakit parah maupun yang mati dia
berhasil untuk menyembuhkan dan menghidupkannya kembali dengan mengunakan kipas
mas yang ajaib itu. Bumi pun menjadi lautan manusia dan hewan akibat ulah I
Belog manusia dan hewan tidak ada yang mati. Melihat hal ini Ida Sang Hyang Widhi (Bhatara Punta Hyang) pun mengumpulkan
para Dewa untuk berunding dan mengutus turun ke bumi untuk menyelidiki keadaan
dan mencari sebab yang menjadikan tidak ada kematian makhluk hidup.
Sesungguhnya dalam agama Hindu sudah tersirat dalam ajaran Tri Kona (lahir, hidup, dan mati) yang merupakan suatu siklus
proses kehidupan di dunia yang harus dilewati, jika salah satu proses ini tidak
ada maka keseimbangan dunia akan menjadi tidak stabil. Oleh karena itu dalam
cerita ini Tuhan pun turun dalam bentuk manifestasi Bhatara Punta Hyang yang berperan untuk menyeimbangkan keadaan di
dunia. I Belog pun di tangkap oleh para Dewa karena I Belog di anggap sebagai
sumber masalah ini. Para Dewa pun menciptakan bencana berupa perang saudara
untuk mengurangi jumlah manusia, tanpa disadari manusia dan hewan pun punah
akibat peperangan itu. Dari masalah itu para Dewa pun turun ke bumi untuk
menyelamatkan nyawa yang masih tersisa, tetapi apa dikata semua sudah sirna dan
Dewa hanya menemukan bangkai seekor kera yang sedang hamil, oleh karena itu
para Dewa pun diutus untuk mengubur dan menjaga kuburan kera hamil itu. Dan
pada suatu saat kuburan kera hamil itu tumbuh menjadi sebuah pohon dan berbuah,
dan pohon itu bernama kayu kastuban.
Buah dari pohon itu menjadi manusia yang pertama lahir. Di tempat inilah
menjadi tempat manusia lahir dan tempat ini disebut dengan cutak. Jika
dibandingkan dengan india bahwa di india ada tempat yang namanya sama yaitu
Cutak (satuan hitungan tanah).
Menurut seorang
peneliti dari jerman beliau seorang guru besar di sebuah universitas di Jerman
mengatakan bahwa sesungguhnya orang penduduk Cutak (julah) berasal dari India,
yaitu terbukti ditemukannya kerangka manusia di sekitar desa Pacung yang
memiliki kesamaan cirri-ciri dengan desa Julah. Selain itu juga ada kemiripan
tradisi yaitu di Julah orang mengunakan daun intran (don Intaran) digunakan sebagai unsure kekuatan untuk memohon
keselamatan, sedangkan di India menggunakan daun intaran digunakan sebagai
ritual untuk mencuci tangan sebelum makan. Semakin lama penduduk Cutak semakin
berkembang dan cutak merupakan tempat persinggahan para pelaut sehingga roda
perkonomian daerah Cutak menjadi sangat
maju dan daerah Cutak pun berubah nama menjadi Cakra Sari. Hal ini terjadi karena banyak ada penduduk
pendatang melakukan proses perdangan di
Cutak. Cakra sari terdiri dari dua yaitu Cakra artinya perputaran atau siklus
pertemuan antra penduduk asli dengan penduduk pendatang yang melakukan
perdangan maupun perkawianan, dan kata Sari berarti hasil. Jadi Cakra sari
adalah sebuah hasil pertemuan antra penduduk pendatang (india) dengan penduduk
pribumi, baik pertemuan dalam bidang perdangangan maupun perkawinan.
Pada suatu saat
daerah Cakra Sari mengalami musibah yang sangat mengerikan, di mana penduduk
daerah Cakra Sari terkena penyakit yang sangat sulit disembuhkan. Dan akhirnya
orang yang sakit di ungsikan di wilayah Bangkah agar penyakit ini tidak menular
pada penduduk Cakra Sari yang lainnya. Di daerah Bangkah inilah orang yang
sakit dirawat oleh Balian yang mengerti dengan Ilmu tenung dan Usadha, sehingga
banyak orang yang berhasil sembuh oleh para Balian ini, selain mengunakan
bahan-bahan herbal berupa daun, kulit pohon, bunga, dan akar menjadi obat, para
Balian ini juga mengunakan air suci yang ada di Ponjok Batu untuk digunakan
sebagai tirta, panglukatan, maupun pembersihan. Air suci yang ada di Ponjok
Batu konon Airnya merupakan perpaduan antara mata air kaja kangin dan kaja
kauh, sehingga air ini merupakan perpaduan tiga mata air, yaitu air dari kaja
kangin, kaja kauh dan air laut. Oleh karena itu, masyarakat Julah sangat
menyucikan dan dikeramatkan mata air itu. Mata air itu dijadikan tirta
panglukatan agung, biasanya digunakan dalam upacara dan untuk mengobati
penyakit yang parah. Setelah itu daerah ini juga diserang oleh bajak laut yang
datang melalui pesisir pantai, ini terjadi karena orang Cakra Sari orang yang
makmur dan kaya, sehingga menjadi target para bajak laut untuk menyerang daerah
ini dan menjarahnya. Pada saat itu banyak warga yang mengungsi ke gunung (Batu
Gambir) dan ada beberapa warga yang masih bertahan di Cakra Sari karena ingin
mempertahankan harta benda yang dimilikya dan hingga kini di desa Julah ini
terdapat jalan kumpi di mana para Kumpi ini (kumpulan Orang Berani) bertahan
dan melawan bajak laut. Dalam prasasti juga disebutkan bahwa tangan kanan Raja
disebut dengan Kumpi. Dari orang pemberani inilah para bajak laut berhasil di
hadang. Dan karena tekat untuk bertahan dan maju melawan musuh maka daerah
Cakra Sari disebut dengan Desa Julah.
Julah berasal
dari kata Majulah yang artinya maju melawan musuh, dilain pihak ada juga yang
mengatakan Julah berasal dari Iju
artinya jalan Cepat dan Ulah artinya
usir. Jadi Julah artinya lari karena diusir oleh bajak laut. Dengan demikian
desa Julah memiliki nama seperti sekarang yaitu desa Julah.
Masyarakat Desa Julah tergabung ke dalam kelompok
masyarakat Bali Kuna. Berdasarkan hasil penelitian dari analisis keramik lokal
dan asing tipe wadah yakni: periuk, paso,
kendi, tempayan dan tutup wadah. Kepingan-kepingan tutup keramik tersebut ditemukan
di daerah tidak jauh dari pantai Desa Julah, Pacung dan Sembiran pada kedalaman
tanah ± 6 meter. Pada keramik tersebut ada yang polos dan ada pula yang
menggunakan hiasan. Selain itu ada pula yang bukan tipe wadah, melainkan bandul
jaring dan mata pancing. Semua itu memberikan petunjuk bahwa menangkap ikan
merupakan salah satu mata pencaharian penduduk (Sidemen, 1998:39).
Uraian di atas diperkuat oleh Ardika,
dkk (2013:69) dalam penelitiannya di kawasan Desa Julah (Sembiran dan Pacung)
menemukan bukti-bukti sejarah sebagai hasil galian berupa gerabah. Adapun
kutipannya adalah sebagai berikut.
Ekskavasi (penggalian,
pen.) arkeologi di situs Sembiran dan Pacung Kecamatan Tejakula yang dilakukan
sejak tahun 1967 telah berhasil menemukan gerabah India diantaranya ada yang
menggunakan pola hias rolet. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya
hubungan Bali dengan India, terutama India Selatan terjadi pada awal abad
pertama Masehi. Berdasarkan temuan arkeologis disitus Sembiran dan Pacung
keduanya mempunyai fungsi yang sama dengan Gilimanuk, yakni sebagai pelabuhan
kuno. Kondisi geografis data arkeologis dan epigrafis mengindiksikan bahwa
situs Sembiran dan Pacung merupakan bagian dari Desa Julah yang berfungsi
sebagai salah satu pelabuhan kuno di Bali Utara setidaknya sejak abad I hingga
abad XII Masehi….
Berdasarkan kutipan di atas, temuan
keramik asing dan gerabah tersebut menunjukkan bahwa kontak dagang dengan India
tampaknya lebih awal dibandingkan dengan Cina. Selain itu baru-baru ini
ditemukan pula tengkorak manusia oleh peneliti arkeologi di dekat pantai Desa
Julah (Sidemen, 1998:58) yang diperkirakan tengkorak orang India yang telah
berusia ribuan tahun sebelum masehi. Adanya penemuan tengkorak tersebut
menunjukkan bahwa sebelum kedatangan Rsi Markandeya ke Bali, sudah ada penghuni
di Desa Julah. Berdasarkan uraian di atas, sebelum abad X sesuai dengan
prasasti yang mengacu Desa Julah yang kini disimpan di Desa Julah dan Desa
Sembiran menunjukkan bahwa Desa Julah sebagai tempat persinggahan atau
pelabuhan bagi para pedagang asing (Sidemen, 1998:58).
Mengacu pada cerita rakyat Julah,
memberikan keterangan bahwa sebelum Desa Julah disebut-sebut dalam prasasti,
terdapat suatu daerah yang bernama Cutak. Cutak merupakan daerah yang dihuni
oleh kelompok nelayan. Lebih lanjut dalam cerita rakyat Julah diuraikan tentang
kelompok warga Cutak dipimpin oleh seorang raja yang bernama Ida Kumpi dan
didampingi oleh seorang permaisuri, putra serta seorang putrinya yang bernama
Sang Dewi. Sang Dewi adalah anak angkat Ida Kumpi yang diperoleh disuatu
tempat, tepatnya di dalam sebuah kelapa muda (Sidemen, 1998:59). Semenjak Ida
Kumpi bersama Sang Dewi, daerah pimpinannya semakin hari semakin berkembang,
bahkan setelah Sang Dewi dewasa, seolah-olah Ida Kumpi memimpin atas nama Sang
Dewi.
Demikianlah kenyataannya daerah Cutak
sampai dikenal oleh negeri lain terutama India dan Cina dalam hubungan
perdagangan. Pada waktu itu Cutak merupakan daerah penghasil padi, kapas, dan gula ental
(gula dari pohon rontal) terbesar bahkan dengan kwalitas terbaik, namun
sebaliknya masyarakat Cutak juga membutuhkan alat perlengkapan rumah tangga
dimana India dan Cina mampu mengatasinya dengan kwalitas yang baik pula
(Sidemen, 1998:59). Sejak terjalinnya hubungan erat antara Cutak dengan India
dan Cina sampai pada masa keemasannya, Cutak diberi julukan “Kerta Sari Waringin”, yang artinya
berkat perlindungan-Nya daerah Cutak menjadi makmur dan damai (Sidemen,
1998:59).
Beberapa tahun lamanya mengalami masa
keemasan, Kerta Sari Waringin
diserang oleh musuh dari seberang yang mengakibatkan banyak penduduk Kerta Sari Waringin terbunuh, ditawan,
dan hanya beberapa keluarga saja termasuk Ida Kumpi serta keluarganya yang
dapat meloloskan diri dari bahaya serangan musuh. Mereka melarikan diri ke arah selatan ± 5
kilometer dengan bersembunyi di suatu tempat yang bernama Upit. Upit adalah nama sumur kecil yang
berada di suatu daerah, yang sekarang bernama Banjar Batu Gambir, Desa Julah.
Berdasarkan peristiwa tersebut tercetuslah ide untuk sepakat memberi nama
daerah tersebut dengan Julah yang artinya “mereka selamat karena melarikan diri
atas paksaan musuh” (Sidemen, 1998:60).
“Julah berasal dari kata “ulah”. Ulah artine uber. Sebelum daerah ini disebut
Julah, wilayah ini bernama Kerta Sari
Waringin. Tapi karena pada masa itu sering terjadi penyerangan dari bajak
laut, maka sebagian rakyat melarikan diri ke daerah Sembiran dan sebagian lagi
ke daerah Upit yang sekarang Julah. Pas
ento Julah anak tongos pelabuhan
Internasional, pusat perdagangan….”
Entah berapa lama tinggal di
pengasingan, hingga pada akhirnya penduduk bertambah banyak, bahkan sampai
mendirikan tempat suci (pura) yang
sekarang disebut dengan Tegak Jro,
letaknya tidak jauh dari sumur Upit. Menjelang abad X masehi, datang seorang
raja dari Dinasti Warmadewa yang dalam prasasti Julah menerangkan bahwa
masyarakat Julah yang masih berada di pengasingan supaya kembali pulang ke Desa
Julah dan tinggal di tempat semula. Lebih lanjut dalam prasasti Julah
diuraikan, pada abad X masehi mutlak Desa Julah dibawah kekuasaan Dinasti
Warmadewa, namun sang raja tetap menghormati Ida Kumpi sebagai sesepuh Desa
Julah serta menetapkan batas-batas wilayah Desa Julah, yaitu: barat: Air
Lutung, utara; Duri Lwar-Lwar, selatan: Ampuhan (Salinan Gedong Krtya, t.t:i)
(dalam Mahayati, 2011:31).
Perjalanan sejarah panjang Desa Julah,
sampai sekarang masih menyimpan bukti baik berupa prasasti, meskipun tempatnya
lebih banyak berada di daerah Desa Sembiran. Selain prasasti, berbagai bentuk
bangunan, cara permujaan, keberadaan lembaga atau perangkat desa tradisional,
dan rohaniawan juga memberikan bukti bahwa Desa Julah merupakan salah satu desa
tua di Bali. Segala bentuk peradaban Desa Julah yang bertahan sekarang tidak
terlepas dari sejarah. Sebuah apresiasi yang sangat tinggi ditorehkan oleh umat
Hindu Desa Julah, hingga sekarang masih menjaga keajegan tradisinya. Akan
tetapi mengingat pada awalnya Julah menjalin hubungan dagang antara Cina dan
India, pada akhirnya memberikan pengaruh terhadap perkembangan budaya dan agama
di Julah. Hal tersebut dapat diperhatikan melalui penggunaan uang kepeng
sebagai sarana pelengkap dalam upacara
ngaben.
2.1.1 Letak Geografis Desa Julah
Desa Julah adalah bagian dari wilayah Kecamatan
Tejakula Kabupaten Buleleng. Berdasarkan pembagian wilayah, daerah Buleleng dibagi menjadi tiga
wilayah, yakni: Buleleng Barat, Buleleng Tengah, dan Buleleng Timur. Sejalan dengan
pembagian wilayah tersebut di atas, Desa Julah terletak pada kawasan Buleleng
Timur dengan luas wilayah sekitar 4,70 km2 atau 470 ha. Jarak Desa Julah dengan Ibu Kota Kecamatan
Tejakula ± 5 Km. Sedangkan jarak Desa Julah dengan Ibu Kota Kabupaten ± 28 Km.
Adapun batas-batas Desa Julah adalah:
1. Sebelah utara :
Laut Bali
2. Sebelah timur :
Desa Bondalem
3. Sebelah selatan :
Desa Madenan, dan
4. Sebelah barat :
Desa Pacung dan Sembiran Bawah
(Sumber: Statistik
Desa Julah Tahun 2008).
Desa Julah terbagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun
Kawanan, Dusun Kanginan dan Dusun Batu Gambir. Desa Julah pada kawasan pantai
terdapat bentangan tanah dasar yakni tegalan. Tegalan tersebut membentang ke
selatan dalam posisi kemiringan yang semakin meninggi. Pada bagian ujung dari
tegalan tersebut, digunakan untuk kawasan pemukiman. Di bagian belakang
pemukiman terdapat pegunungan. Dengan adanya struktur topografi serupa itu,
tampak bahwa wilayah Desa Julah melandai ke utara dengan rata-rata kemiringan
0,350. Di bagian barat dan timur pegunungan tampak jurang. Pada
bagian dasarnya terdapat sungai, namun pada musim kemarau menjadi kering. Salah
satu sungai yang melewati Desa Julah adalah Sungai Song (Sumber: Statistik Desa
Julah Tahun 2008).
Desa Julah terpengaruh oleh angin musim, sehingga
memiliki iklim tropis yang mengenal pemisahan secara tegas antara musim hujan
dengan musim kemarau. Curah hujan umumnya tinggi dalam jangka waktu empat
bulan. Sedangkan 8 bulan berikutnya Desa Julah mengalami musim kemarau. Curah hujan
di Desa Julah rata-rata sekitar 1.092 mm setiap tahun. Berdasarkan hal tersebut
di atas, Desa Julah dikategorikan atau digolongkan sebagai daerah sabana. Hal
ini didukung pula oleh ekosistem yang ditutupi hamparan tanah kering dan
tandus. Kawasan ini banyak tumbuh pohon lontar, sehingga menyebutnya dengan
nama daerah sabana lontar (Mahayati, 2011:31).
Pada musim kemarau sungai-sungai kering. Pada saat
musim penghujan sungai baru berisi air atau bahkan bisa pula kebanjiran.
Disepanjang pantai Desa Julah terdapat banyak mata air yang dapat dikonsumsi.
Umumnya pemukiman di dataran rendah, Desa Julah ditandai dengan rumah penduduk
yang mengelompok pada tempat-tempat tertentu dan letaknya tidak terlalu jauh
dari tegalan, untuk memudahkan pengawasan terhadap tanah tegalan serta ternak
yang dipelihara di tanah tegalan tersebut.
Karena wilayahnya memiliki curah hujan rendah maka
di Desa Julah tidak ada sistem pertanian sawah melainkan hanya diterapkan
sistem pertanian tegalan dengan jenis tanaman seperti jagung, ubi kayu, kacang
tanah, pepaya, rambutan, mangga, dan lain-lain. Selain pertanian tegalan, Desa
Julah juga memiliki perkebunan, seperti kelapa, kopi, dan cengkeh.
Menyimak
penjelasan di atas, diantara beberapa jenis tanaman yang menjadi sumber
komoditas di Desa Pakraman Julah,
lahan tanaman kopi merupakan lahan yang paling luas apabila dibandingkan dengan
lahan tanaman lainnya. Adapun luas lahan tanaman kopi adalah 55 ha. Berbeda
dengan luas lahan tanaman lain yang berkisar antara 0,5 sampai 37 ha. Meskipun
tanaman kopi berada dalam lahan yang paling luas, tetapi dari segi hasil,
tanaman coklat merupakan komoditas tanaman yang memberikan penghasilan paling
tinggi di Desa Pakraman Julah.
2.1.2
Keadaan Penduduk Desa
Julah
Penduduk Desa
Julah sesuai pendataan akhir tahun Desember 2008 berjumlah 4.192 jiwa yang
terdiri dari penduduk laki-laki 2.132 jiwa (50,85%) dan penduduk perempuan
2.060 jiwa (49,14%) dengan jumlah kepala keluarga 1.254 KK. Jumlah tersebut di
atas merupakan angka resmi yang dicatat di kantor Kepala Desa Julah.
Berdasarkan data di atas, umur produktif
(15 – 56 Th) dari masyarakat Desa julah cukup tinggi yakni 73% dari jumlah
penduduk. Kondisi yang demikian, merupakan salah satu faktor yang memotivasi
terjadinya perubahan masyarakat Julah yang demikian tinggi. Selain penduduk
asli Julah yang mendominasi banyaknya jumlah penduduk, ditambah banyaknya
penduduk pendatang menyebabkan penduduk asli Desa Julah maupun pendatang harus
mengadaptasikan diri baik secara kultural, maupun berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam sima
dresta maupun awig-awig Desa Pakraman Julah.
2.1.3
Keadaan Penduduk
Berdasarkan Agama
Penduduk Desa
Julah bersifat heterogen, terdiri dari penduduk yang beragama Islam dan
beragama Hindu. Kehidupan masyarakat dengan adanya dua keyakinan yang berbeda
tidak membuat mereka berselisih, akan tetapi hubungan mereka cukup rukun.
Penduduk yang beragama Hindu 3.619 jiwa (90%) dan penduduk yang beragama Islam
537 jiwa (10%). Dari jumlah penduduk yang ada dapat diketahui mayoritas
penduduk Desa Julah adalah beragama Hindu (Sumber:
Sistem Pendapatan Profil Desa Julah Tahun 2009). Diantara tiga dusun yang ada
di Desa Julah (Dusun Kawanan, Kanginan dan Dusun Batu Gambir), Dusun Batu
Gambir merupakan salah satu dusun yang keadaan penduduknya bervariasi.
“…penduduk Dusun Batu Gambir terdiri dari 350 KK. Dari 350 KK tersebut,
120 KK Agama Islam, dan sisanya adalah beragama Hindu. Dusun Batu Gambir
merupakan daerah yang khusus bagi penduduk pendatang. Sebagian besar penduduk
yang terorganisir dalam wilayah Dusun Batu Gambir adalah berasal dari
Karangasem dan sebagian lagi diperkirakan 5 KK berasal dari Satra, Kabupaten
Bangli. Penduduk yang beragama Islam kurang lebih satu tahun lebih awal
menempati Dusun Batu Gambir dibandingkan dengan penduduk yang beragama Hindu….”
Sejalan dengan pernyataan di atas, lebih lanjut
Diarsi menyatakan bahwa “hubungan antara penduduk asli Julah dengan pendatang
sejauh ini masih baik-baik saja, demikian juga yang terjadi antara penduduk
yang beragama Islam dengan Hindu.” Sekalipun memiliki identitas dan latar
belakang yang berbeda, toleransi yang ditorehkan dalam heterogenitas suku, ras,
dan agama di Desa Julah selama ini dapat dikatakan sangat erat. Hanya saja demi
kebertahanan tradisi nenek moyang yang diwarisi secara turun-temurun, umat
Hindu Desa Pakraman Julah selalu
melakukan resistensi terhadap pengaruh luar (penduduk pendatang yang membawa
bekal tradisi aslinya).
“…bagi umat Hindu pendatang yang tinggal di Dusun
Batu Gambir tidak diberikan melakukan upacara
kematian (ngaben) dengan
memanfaatkan setra yang berada di Desa Pakraman Julah. Oleh karena itu, untuk menghormati adat yang
berlaku di Julah, umat Hindu pendatang biasanya menyelenggarakan ritual
kematiannya ke daerah dari mana mereka berasal”.
Memperhatikan jumlah penduduk asli yang
dominan beragama Hindu dan adanya resistensi kultural yang dilakukan oleh Desa
Adat Julah dalam menjaga keutuhan tradisi (upacara
keagamaan) yang bernuansa lokal adat Julah dapat dipastikan sulit akan
luntur, terlepas dari pengaruh lain yang sifatnya lebih keras dalam mendobrak
tatanan budaya tersebut. Meskipun hal tersebut terjadi, maka harus ada konflik
yang mengarah pada rusaknya tatanan nilai budaya yang dikembangkan oleh Adat
Julah, karena tidak semua tradisi yang dikembangkan oleh agama primitif jelek
dan merusak pembangunan.
Bidang usaha pencaharian nafkah yang
paling banyak ditangani oleh penduduk usia kerja di Desa Julah adalah
pertanian, yakni sebanyak 2.588 orang. Bidang usaha lainnya adalah industri
rumah tangga dan pegawai negeri yang terdiri dari pegawai negeri sipil maupun
swasta. Jumlah mereka yang berpotensi sebagai pengerajin industri rumah tangga
sebanyak 35 orang, pegawai negeri sipil sebanyak 26 orang. Mereka pada umumnya
bekerja keluar desa, baik dalam lingkup di Bali maupun di luar daerah Bali.
Mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan adalah 34 orang.
Kelompok pengerajin industri rumah
tangga juga dikembangkan oleh masyarakat Desa Julah, meskipun jumlahnya
sedikit, tetapi hal ini menunjukkan bahwa ada keinginan dari sebagian
masyarakat untuk mencari penghidupan dari mengembangkan keahlian yang dimiliki.
Industri rumah tangga yang ada saat ini di Desa Julah adalah kerajinan
pembuatan ingka, pembuatan kerupuk,
jajan Bali, dodol, dan pembuatan
minyak kelapa dengan wilayah pemasarannya dilakukan pada lingkungan sekitar
Desa Julah saja (lokal).
Disamping komoditi pertanian dan
perkebunan masyarakat Julah juga mengusahakan peternakan. Peternakan merupakan
salah satu mata pencaharian penduduk Desa Julah. Pada dasarnya, prinsip usaha
pertanian dan usaha peternakan di Desa Julah tidak dapat dipisahkan atau bahkan
sangat erat kaitannya satu dengan yang lainnya karena keduanya dapat
meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas petani di desa. Disatu pihak
kotoran hewan dapat digunakan sebagai pupuk tanaman di tegalan mereka.
Pemanfaatan pupuk kandang dengan cara demikian tentunya memberikan keuntungan
ganda pada petani, di pihak lain petani juga dapat memperkecil biaya produksi
serta dapat meningkatkan kesuburan tanah.
Karakteristik lain yang menunjukkan
identitas Desa Julah sebagai desa pesisir adalah terdapatnya kelompok nelayan
dengan jumlah nelayan sebanyak 34 orang sudah berdiri sejak tahun 1990. Nelayan
di Desa Julah mempunyai wadah organisasi dengan nama kelompok nelayan Sari
Sagara yang diketuai oleh Ketut Dasi. Kelompok nelayan ini memanfaatkan potensi
laut sebagai lokasi untuk mencari penghidupan dan memasok kebutuhan ikan untuk
penduduk desa, sehingga memberikan kontribusi yang cukup dalam pemenuhan
kebutuhan hidup.
Aktivitas keagamaan masyarakat Desa Pakraman Julah sangat dipengaruhi oleh
sektor ekonomi masyarakat. Apalagi untuk peningkatan status jabatan keagamaan
menjadi seorang Jro Balian membutuhkan
biaya yang cukup besar. Demikian juga pelaksanaan upacara ngaben, sehingga ada kalanya untuk melakukan pengkajian
terhadap sosio-religious umat tidak
dapat dilepaskan dari kebutuhan finansial atau ekonomi masyarakat. Mencermati
sumber pendapatan di atas, masyarakat Desa Pakraman
Julah sebagaian besar memperoleh pendapatan dari hasil pertanian. Atas
dasar mata pencaharian tersebut, upaya pemertahanan tradisi Jro Balian masih signifikan, karena
dominasi para petani belum terlalu banyak dipengaruhi oleh tradisi negari (tradisi modern).
2.2 Kebudayaan
Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi
dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya
memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat
berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
Bali merupakan
tempat yang menyimpan banyak keunikan yang tidak ada di belahan dunia manapun.
Selain unik pulau Bali juga merupakan pulau yang menyimpan berbagai keajaiban
yang mampu menarik wisatawan asing datang ke Bali. Padahal jika kita
bandingkan, pulau-pulau yang lain tidak kalah indahnya dengan pulau Bali.
Berbicara
tentang keramahan orang bali, masih
banyak tempat yang dapat kita jumpai dengan masyarakatnya yang ramah serta
sopan santunnya yang sangat bagus, namun yang menjadi pertanyaan, kenapa justru
wisatawan asing lebih memilih Bali sebagai tempat untuk berwisata, inilah
keajaiban dimiliki oleh pulau Bali.
Dalam benak selalu kita tanyakan kenapa wisatawan hanya ingat Bali ketimbang
Indonesia? Apa yang mereka cari ke Bali ? Tentu kita akan terketuk hati kita
untuk mengungkap dan mencari tau jawaban dari semua pertanyaan semua itu. Dan
itupun ada jawabanya, orang luar lebih mengenal bali daripada Indonesia karena
Bali adalah sebuah pulau yang ajaib dan menyimpan berbagai keajaiban yang tidak
bisa ditemukan didaerah lain selain di Bali.
selain itu juga
pulau Bali adalah pulau dewata yang dimana orang bali yang mayoritas
penduduknya beragama Hindu setiap melaksanakan sesuatu dimulai dengan proses
pemujaan kepada sang pencipta dan ini yang menyebabkan Bali memiliki pancaran
pesona yang luar biasa yang membuat pulau Bali memiliki pancaran cahaya yang
terang yang dapat membuat orang menjadi jatuh hati dengan pulau dewata ini. Hal
ini dapat dibuktikan secara langsung misalnya banyak wisatawan asing yang
pernah berkunjung ke Bali kemudian kembali ke Bali lagi dan menetap di Bali
dengan menyatakan jatuh cinta terhadap pulau dewata ini.
Lalu apa yang
orang cari ke Bali ? yang dicari orang ke Bali adalah Keunikan Bali yang
menyimpan banyak keajaiban yang mempesona dan memikat hati para wisatawan asing
untuk datang ke Bali. Orang luar tidak belajar agama Hindu di Bali karena asal
Agama Hindu berasal dari India mestinya orang yang mau belajar tentang agama
Hindu mestinya ke India, jadi yang dicari orang ke Bali adalah keunikan Bali
itu sendiri.
Bali merupakan
gudangnya kebudayaan yang menyimpan berbagai jenis kebudayaan yang tersebar
diseluruh penjuru tanah Bali. Baik dari aspek sosial, dan budaya. Keanekaragaman, kebudayaan Bali
terbentuk tidak pernah lepas dari Desa
(tempat), Kala (waktu), Patra (keadaan/situasi). Desa (tempat)
merupakan wilayah atau tempat yang dimana sangat mempengaruhi bentuk kebudayaan
yang terlahir di tempat itu karena dipengaruhi faktor lingkungan itu sendiri
baik dari letak geografis, iklim, cuaca. Yang dapat membentuk sebuah kebudayaan
baru berdasarkan dari keadaan itu sendiri. Kala
(waktu) merupakan faktor yang sangat mendukung untuk lahirnya kebudayaan baru.
Karena waktu merupakan suatu keadaan yang menentukan sebuah perubahan sistem
baik dari sistem sosial maupun sistem budaya. Sedangkan yang terakhir adalah Patra (Keadaan/Situasi) merupakan suatu
keadaan yang memungkinkan lahirnya sebuah kebiasaan baru dan menjadi tradisi
yang terjadi karena adanya hal-hal yang diluar dugaan alam pikir manusia dan
berusaha memecahkannya dengan sebuah hal yang baru kemudian menjadi sebuah
keyakinan baru yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi sebuah
kebudayaan.
Sehingga dimana
ada sebuah kondisi yang berbeda tentu akan ada pula pemecahan dari keadaan itu
secara berbeda juga. Oleh karena itu kebudayaan yang ada di Bali itu juga tercipta
oleh sebuah keadaan yang diwariskan secara menurun dan menjadikan sebuah
tradisi yang sudah diyakini dan menjadikan sebuah kearifan lokal yang harus dijaga serta dilestarikan. Dari keadaan
inilah yang menyebabkan kebudayaan Bali menjadi beranekaragam dari satu tempat dengan tempat yang lain.
Kekuatan kebudayaan Bali terletak pada Agama Hindu Itu sendiri karena Agama
Hindu adalah jiwa dari kebudayaan itu
sendiri.
Bali tidak dapat
dilepaskan dengan keberadaan Desa pakraman yang merupakan tempat terciptanya
sebuah kebudayaan karena desa pakraman
terdapat unsur-unsur pembentuk sebuah kebudayaan yang dilahirkan dari tardisi
di tempat tersebut yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi sebuah
kebudayaan yang kita ketahui dan kita jaga sampai sekarang. Ada tiga hal yang
dapat menunjang terbentuknya sebuah desa pakraman yaitu: wilayah, penduduk atau
masyarakat, tempat suci atau Khayangan Tiga. Unsur inilah yang harus ada dari sebuah desa pakraman, jika kita hubungkan tiga
unsur ini dalam agama Hindu ada sebuah ajaran yang memuat tentang penyebab
kebahagian yang disebut dengan Tri Hita
Karana Yaitu: tiga penyebab kebahagian. Antara lain, 1. Parahyangan (hubungan yang harmonis
dengan Tuhan) tentu jika kita kaji dalam unsur pembentuk sebuah desa pakraman
sudah pasti dalam desa pakraman harus ada tempat suci yang berfungsi sebagai
tempat suci dan menghubungkan diri dengan Tuhan dan sebagai tempat untuk
memohon anugrah, keselamatan dan kebahagian lahir maupun batin. Dan ini juga
merupakan salah satu unsur yang dapat membentuk sebuah tradisi. Karena manusia
sadar atas keterbatasan yang dimilikinya dengan itu manusia dalam mengucapkan
syukurnya mengunakan cara-cara sesuai kemampuan yang dimilikinya. 2. Pawongan (hubungan yang harmonis antara
manusia dengan manusia yang lainnya) jika kita hubungan dengan unsur pembentuk
sebuah desa pakraman sudah barang tentu hal ini berhubungan erat karena tanpa
ada masyarakat yang mau bersinergi antara satu dengan yang lainya dengan baik
tentu akan menjadikan desa pakraman itu sendiri menjadi memiliki situasi yang
kondusif. Jika dalam kehidupan masyarakat bersinergi dengan bagus tentu dalam
sebuah desa pakraman itu menjadi desa yang aman dan tentram.
Dari hal ini
kebudayaan kultur sosial akan tercipta karena dirasakan cukup bagus untuk
dijadikan sebuah panduan kehidupan dan dilaksanakan secara berkesinambungan
dari generasi ke generasi dan cara sosial yang mereka terapkan memberikan efek
yang sangat baik sehingga dari kebiasaaan itu menjadi sebuah tradisi dan
mengikat bagi mereka. Misalnya tradisi sosial paruman, pernikahan dan
tradisi-tradisi lain. 3. Palemahan
(hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam) jika dihubungkan
dengan unsur pembentuk desa pakraman, palemahan merupakan suatu hubungan timbal
balik antara manusia dengan lingkungan,
apabila dalam hubungan antara manusia dengan palemahan atau tempat
wilayah tinggalnya terjadi hubungan yang kurang harmonis maka sudah tentu dalam
melaksanakan kehidupan akan menjadi tidak baik. Oleh karena itu dalam desa pakraman
tentu ada batas wilayahnya agar lebih mudah untuk mengetahui keadaan dari
wilayah itu sendiri. Misalnya letak geografis suatu desa yang terletak di
pegunungan tentu akan mempengaruhi pola kehidupan manusianya itu sendiri. Dan
ini yang mengakibatkan terjadi sebuah kebiasaan yang mereka buat misalnya
kebanyakan orang digunung rata-rata minum kopi, dan akhirnya menjadi sebuah
tradisi ngopi dan berjalan dari waktu kewaktu dan diturunkan dari generasi ke
kegenerasi. Jadi palemahan merupakan salah satu unsur penting dalam proses
pembentukan kebudayaan.
Berbicara
keunikan desa pakraman yang
melahirkan berbagai jenis kebudayaan yang luar biasa tentu ini merupakan salah
satu desa yang memiliki kultur budaya yang masih sangat tradisional dan sampai
sekarang terus dilestarikan oleh generasi ke generasi dengan latar belakang
keyakinan secara mendalam sehingga kultur budaya ini masih bertahan hingga
sekarang. Desa julah merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan
kearifan lokalnya yang sudah ada dari jaman dahulu dan masih bertahan hingga
sekarang. Desa Julah adalah bukti dari perjalanan sejarah yang mempunyai banyak
bukti baik tentang kehidupan nenek moyang dahulu dan sekarang masih
terjaga baik sampai sekarang.
Adapun cara
melakukan upacara panca yadnya, bentuk bangunan sucinya, jenis tariannya, cara
melakukan persembahnyangan, serta adanya bukti yang sangat kuat yaitu adanya
sepuluh lembar prasasti yang berisikan bisama desa julah dan masih disucikan
hingga sekarang.
Oleh
karena itu buku ini sangat penting keberadaannya untuk menambah pengetahuan
baik dari pengetahuan religiusitas dan pengetahuan yang lainnya. Dalam Buku
yang berjudul “Mengenal Kearifan
Masyarakat Julah”, memaparkan tentang Keunikan desa julah yang masih
bertahan sampai sekarang, dan merupakan sebuah refrensi untuk generasi kita
yang akan datang dan sebagai pembanding antara tradisi-tradisi yang ada di
Bali.
2.3
Tata Ruang Bangunan Perumahan Penduduk
Bangunan
perumahan seperti halnya desa-desa adat lain yang ada di Bali pada umumnya cepat
terkena pengaruh gaya modern. Hal ini disebabkan karena tidak adanya awig-awig
yang mengatur tentang tata letak bangunan perumahan pada desa-desa umumnya yang
ada di Bali. Seperti halnya di desa adat Pengelipuran Kabupaten Bangli,
bangunan perumahan di desa adat Julahpun tetap ajeg dan lestari, terutama tata
ruang bangunan perumahan tradisional yang masih kokoh berdiri dengan asri,
terutama pada areal masuk desa adat Julah. Jika diperhatikan perumahan yang
berada di pinggiran jalan raya jurusan Singaraja Karangasem memang sudah kena
pengaruh modern, tetapi jika kita memasuki kampung tradisional akan tampak
berbeda dengan tata ruang bangunan perumahan yang berada di pinggir-pinggir
jalan raya.
Foto 01
Pelang
Tapal Batas Desa Adat Julah
Foto 02
Tata
Ruang Bangunan Rumah Tradisional
Foto
03
Tata
Ruang Bangunan Rumah Tradisional
Foto
04
Tata
Ruang Bangunan Rumah Tradisional
BAB III
KEARIFAN
LOKAL MASYARAKAT JULAH
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi
ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya
seni.
Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat
berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
Desa Julah adalah
Desa yang menyimpan kearifan lokal yang sangat kuno dan masih bertahan sampai
sekarang. Ini terjadi karena masyarakat Julah sangat menghargai warisan
leluhurnya, dan ini adalah bentuk bhakti kepada leluhur dengan cara menjaga
warisan kearifan lokal dengan sebaik-baiknya. Kearifan yang paling mudah
dilihat adalah tempat suci yang ada antara lain Pura Dalem.
3.1 Kahyangan
Tiga Desa
Pakraman Julah
Kahyangan tiga yang
dimiliki oleh Desa Pakraman Julah
terdiri dari Pura Bale Agung, Pura Puseh,
dan Pura Dalem. Ketiga pura tersebut berfungsi sebagai tempat
suci untuk memuja Tri Murti, yakni
Brahma, Wisnu dan Siwa. Pura Desa dan
Pura Puseh berada dalam satu kompleks.
Kompleks tersebut dikenal dengan nama Pura
Bale Agung. Pura Bale Agung sangat
penting karena pada kompleks pura ini
terdapat bangunan suci untuk memuja para dewa yang dikenal masyarakat Desa Pakraman Julah.
Bangunan
suci (kahyangan tiga) yang berdiri di
Desa Pakraman Julah pada dasarnya
tidak terlepas dari sejarah yang pernah ditata oleh seorang brahmana besar Mpu Kuturan.
Kedatangannya ke Bali tiada lain atas undangan dari Raja Udayana sebagai salah
satu upaya untuk mengharmoniskan perbedaan pandangan berbagai sekte yang hidup dan berkembang di Bali
pada abad 11 Masehi. Atas dasar tersebut, Mpu Kuturan menyiasati masalah
tersebut dengan mendirikan kahyangan tiga. Uraian tersebut di atas pada
intinya mengacu pada Ardana (1982:30) dan Covarrubias (1989:58) (dalam Titib,
2006:63), yang menyatakan bahwa,
Menurut
tradisi, selama pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, seorang senapati yang bernama Mpu Kuturan dari
Jawa Timur datang ke Bali. Dikatakan bahwa Mpu Kuturan adalah kakak Mpu Baradah
yang hidup pada masa pemerintahan Raja Airlangga. Selanjutnya, disebutkan bahwa
kedatangan Mpu Kuturan di Bali adalah untuk menata kehidupan beragama di daerah
ini. Dalam penataan kehidupan beragama, ajaran Tri Murti segera disebar-luaskan dengan membangun kahyangan tiga (tiga pura) pada setiap desa pakraman
di Bali. Kahyangan tiga terdiri dari
tiga buah pura yang masing-masing disebut: (1) Pura Desa/Bale Agung, sebagai tempat memuja Dewa Brahma sebagai
pencipta jagat raya dan semua isinya, (2) Pura
Puseh, sebagai sthana (tempat)
memuja Bhatari Durga (sakti Dewa Siwa), sebagai manifestasi
Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dalam fungsinya sebagai pelebur kembali
jagat raya.
Sesuai
dengan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa struktur Pura Bale Agung, Desa Pakraman
Julah terbagi menjadi tiga mandala atau yang tidak asing disebut
oleh umat Hindu di Bali sebagai tri mandala.
Adapun penjabaran tri mandala tersebut
adalah (1) Jeroan, yaitu dibagi
menjadi dua, yakni Purian Kangin (timur)
yang disebut Pura Desa (Bale Agung),
dan Purian Kauh (barat) yang disebut Pura Puseh; (2) Jaba Tengah yaitu menunjukkan halaman yang bersifat sakral pada
saat upacara keagamaan dan sebaliknya
bersifat profan apabila tidak ada upacara
keagamaan, karena itu banyak dijumpai bangunan pelengkap dan menunjang bagi
kelancaran pelaksanaan ritual, dan (3) jaba
sisi (teben), yang menunjukkan halaman yang bersifat profan karena tanpa
dijumpai bangunan suci. Hal serupa juga didukung oleh Titib (2003:101-102)
dengan menyatakan,
Pada umumnya
struktur Pura dibagi atas tiga
bagian, yaitu jaba pura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman dalam). Disamping itu
ada juga pura yang terdiri dari dua
halaman, yaitu jaba pisan (halaman
luar) dan jeroan (halaman dalam) dan
ada juga yang terdiri atas tujuh halaman (tingkatan) seperti pura agung besakih. Pembagian pura yang berdasarkan atas konsepsi makrokosmos (bhuana agung), yakni; pembagian pura
atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari “tri loka”, yaitu bhur loka
(bumi), bwah loka (langit), swah loka (swarga). Pembagian pura atas dua halaman (tingkatan)
melambangkan alam atas (urdhah) dan
alam bawah (adhah) yaitu akasa dan
pertiwi. Sedangkan pembagian pura
atas 7 (tujuh ) bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan “saptaloka” yaitu tujuh lapisan atau
tingkatan alam atas yang terdiri dari; bhur
loka, bhuwah loka, swah loka, maha loka, jana loka, tapa loka, dan satya loka.
Sedangkan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbol dari “ekabhuvana” yaitu penunggalan antara
alam bawah dan alam atas. Pembagian halaman pura
yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal, sedang
pembagian (loka) pada pelinggih-pelinggih adalah pembagian
yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan “prakerti” (unsur materi alam semesta),
sedangkan pembagian yang pertikal adalah simbolis “purusa” (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan
konsepsi prakerti dengan purusa dalam struktur pura merupakan simbolis dari pada “super natural power”. Hal itulah
orang-orang dapat merasakan adanya getaran spiritual atau super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa) dalam sebuah Pura.
Berbeda
dengan Pura Dalem. Pura Dalem Desa Pakraman Julah berada di sebelah utara pemukiman warga, dekat
dengan pantai Desa Julah. Pura Dalem terdiri
dari satu kompleks dengan dikelilingi oleh tembok pembatas. Dalam satu komplek
areal pura dalem terdiri dari Dalem Kawitan, Dalem Bali, dan Dalem Jawa. Sebagai umat Hindu, krama Desa Pakraman Julah yang mempercayai konsep pemujaan terhadap leluhur dengan
memfungsikan Pura Dalem Kawitan sebagai
tempat pemujaan leluhur termasuk upacara
ngutang punduh (ngelinggihang dewa
pitara) yang menjadi salah satu rangkaian upacara ngaben.
Pura Dalem desa adat Julah dibagi menjadi tiga bagian
yaitu Pura Dalem Kawitan, Pura Dalem Beneh/Bali, Pura Dalem Jawa. Pura Dalem
Kawitan mempunyai bentuk yang sangat unik, berbentuk limas kecil dan memiliki
lobang. Menurut Sidemen (wawancara 15 Agustus 2014), dinyatakan bahwa pada zaman
dulu di pura Dalem Kawitan terdapat batu hitam yang menyerupai Lingga Yoni. Karena
ulah orang jahil yang ingin mencoba dan membuktikan apakah batu itu benar benar
keramat atau memiliki kekuatan gaib, maka
batu itu dibawa ke laut serta dilempar ke dalam laut. Stelah batu itu dilempar
ke laut, maka terjadilah hal yang di luar nalar manusia, di mana air laut
membentuk pusaran air yang besar dan membuat batu tersebut menghilang. Kini
masyarakat Julah sangat mempercayai kekeramtan batu tersebut, sehingga atas
dasar kepercayaan dan keyakinan yang kuat, maka dibuatkan tempat berupa limas,
sebgai pengganti batu yang telah dilempar ke laut tersebut. Jika dikaitkan
dengan sejarah desa Julah di mana warga/krama desanya tidak mengenal adanya
kasta dan Triwangsa, maka dalam runtutan uapacara kematian Pura Dalem Kawitan
ini menjadi tempat penyerahan sang atma kepada Ida Hyang Widhi Wasa.
Tegak odalan atau upacara di Pura Dalem ini dilaksanakan
pada pinglong sasih keenem. Pelaksanaan piodalan di Pura Dalem ini dilakukan
dari pagi hingga sore hari, mengingat tradisi yang ada, bahwa pelaksanaan
upacara piodalan ini tidak boleh sampai larut malam. Adapun keunikan yang masih
dilaksanakan pada saat upacara di pura Dalem ini adalah tidak diperbolehkan
pengunaan babi guling sebagai sarana upakara, serta tidak boleh menyalakan
lampu pada saat piodalan.
Fungsi Pura dalem Kawitan (hasil wawancara Ketut Sidemen) adalah sebagai tempat
menghormati roh leluhur penduduk asli orang Julah dan hingga kini Pura Dalem
Kawitan ini digunakan sebagai tempat penyerahan Sang Hyang Aatma kepada pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu fungsi
Pura Dalem Bali, adalah sebagai tempat pemujaan kepada para leluhur orang Bali
yang menjadi warga desa Julah serta mengikuti tradisi dan aturan yang berlaku
di desa Julah. Sedangkan fungsi Pura Dalem Jawa, adalah sebagai tempat
pemujaan para leluhur orang luar Bali
yang menetap atau tinggal di desa Julah. Pura Dalem Jawa ini memiliki keunikan
di mana banguan suci ini menghadap ke utara. Ini kaitanya dengan pura dalem Solo
yang ada di Jawa. Selain itu dalam upacara ngangkid
(tiga bulanan) menggunakan banten yang ditujukan ke pura Dalem Solo dengan
sarana banten ditaruh di atas jukung-jukungan yang terbuat dari kloping
kemudian di lepaskan dipantai.
Foto 05
Pura
Dalem Kawitan
Foto 06
Pura
Dalem Bali
Foto 07
Pura
Dalem Jawa
3.2 Pura Bale
Agung
Pura Bale Agung desa Julah merupakan pura yang memiliki
fungsi yang sangat penting, bagi masyarakat Julah, karena dalam segala bentuk kegiatan
ritual keagamaan ataupun sangakepan desa, selalu dilaksanakan di pura Bale
agung. Pura Baleagung dibagi atas tiga bagian sesuai konsep tri mandala, seperti halnya pura-pura
lain yang ada di Bali, terdiri dari jaba sisi, Jaba tengah, dan Jroan (halaman
luar, halaman tengah dan halaman utama)
Sebelum memasuki jaba tengah, terdapat kori agung yang
sangat megah di mana dalam kori agung ini terdapat lukisan lukisan seperti
tokoh pewayangan, lukisan naga, lukisan orang primitif, serta di samping kanan dan
kirinya tedapat roda yang jumlah palangnya; sebelah kanan berjumlah delapan
yang mempunyai makna sebagai aliran budha, dan di sebelah kiri berjumlah 9 bermakna sebagai aliran Hindu. Jadi dapat
diartikan bahwa kemungkinan konsep dua roda ini adalah melambangkan paham siwabudha. Pada bagian atasnya terdapat
mangkok cina yang indah serta bagian atap menggunakan duk (ijuk), sehingga hal ini yang membuat kori agung memiliki kesan
yang sangat angker dan sakral.
Kemudian dijaba tengah terdapat bale dawa. Bale dawa
merupakan sebuah bale yang panjang yang memiliki ukuran ±22m yang biasanya di
gunakan untuk mempersiapkan sarana upakara yang akan dilaksanakan, bale dawa
ini terdapat di bagian timur. Di sebelah bale dawa terdapat bale penganteb. Bale
penganteb di gunakan untuk tempat Jro Kubayan memimpin upacara (nganteb) pada saat upacara dilaksanakan
di Pura Bale Agung. Di sebelah bale penganteb terdapat bale dama. Bale dama
memiliki ukuran yang hampir sama dengan bale dawa, akan tetapi fungsinya
berbeda, di mana bale dama digunakan untuk menata nasi kawesan yang akan dibagikan
kepada semua krama tegak, bale dama terletak dibagian barat. Selain itu juga di
jaba tengah terdapat meru tumpang lima yang disebut dengan Sanggar Agung dengan
hiasan tambahan pajeng pontang yang memiliki lima tingkatan. Sanggar Agung ini
merupakan tempat pemujaan Sang Hyang Panca Dewata/Ida Ratu Sanggar Tawang, dan digunakan sebagai tempat untuk meminta
petunjuk sebelum melakukan sesuatu.
Pada bagian Jeroan terbagi atas dua bagian yaitu disebut dengan
istilah Puri Kanginan dan Puri Kawanan dan juga bisa disebut Pura Puseh dan
Pura Desa. Meru tumpang pitu terletak di puri kawanan dan dugunakan untuk
memuja Ida Ratu Puseh Didasar Madue
Karang kawis. Adapun pelaksanaan piodalan atau tegak piodalannya jatuh pada
sasih kaulu yang dikenal oleh masyarakat Julah dengan istilah saba mubuh atau
ngusaba mubuh, yaitu suatu upacara yang sarana upakaranya menggunakan kelor
bubuh ketan, sedangkan pada sasih kedasa nyudang (sasih sada pada umumnya) dilaksanakan saba atau ngusaba nyanyah. Keunikan dari ngusaba nyanyah ini adalah bahwa
sarana upakara yang dipergunakan untuk upacara semuanya serba dinyanyah atau
digoreng tanpa minyak.
Meru tumpang solas terletak di puri kanginan adalah
tempat memuja Ida Ratu Gede Gunung Agung.
Pelaksanaan piodalannya jatuh pada sasih katiga atau tepatnya pada purnama
sasih katiga, dalam tradisi masyarakat Julah disebut dengan istilah saba odalan.
Meru tumpang 3 (tiga/telu) terdapat di purian
kangin, merupakan tempat pemujaan bagi Ida Ratu Gede Penyengceng konon menurut keyakinan krama Julah
leluhur terdahulu bahwa krama Julah tidak Meliki kemampuan untuk membuat meru
tumpang 21 (dua puluh satu/selikur) maka atas dasar kesepakatan bersama di
pecalah meru tumpang 21 (selikur) tersebut menjadi tiga bagian yakni, meru
tumpang 7 (pitu), meru tumpang 11 (solas) dan meru tumpang 3 ( telu).
Foto 08
Kori
Agung
Foto 09
Meru
Tumpang Lima
Foto 10
Meru
Tumpang Tujuh
Foto 11
Meru
Tumpang Solas dan meru tumpang telu
3.3 Sanggah
Misi
Desa Julah
merupakan desa yang identik dengan hal magis/gaib dan masyarakatnya secara
turun-temurun sangat mempercayai/meyakini hal ini, bagaimana tidak
mempercayainya, karena di desa Julah terdapat suatu bangunan suci yang
mempunyai fungsi khusus yang disebut Sanggah
Misi. Bangunan suci ini disungsung
oleh keturunan Purusa saja, dan
dibangun berdasarkan atas petunjuk leluhur, misalnya jika ada yang mengalami
sakit yang tidak kunjung sembuh, dan jika ada masyarakat yang mendapatkan benda
benda secara gaib misalnya batu permata, keris, tombak, arca maupun benda-benda
yang memiliki kekuatan gaib. Atas dasar itulah maka kumpulan keluarga Purusa harus membuat Sanggah Misi sebagai tempat penyimpanan benda-benda yang mereka dapatkan secara gaib.
Sanggah
Misi tidak bisa disamakan dengan Sanggah
Dadya, di mana tujuannya agar tidak
ada pengelompokan baik dari kasta maupun profesi yang akhirnya
menghancurkan rasa kekeluargaan di antara warga desa Julah. Keunikan
lainnya dari bangunan ini adalah leluhur
yang dipuja pada bangunan tersebut dikenal dengan sebutan Dane Wayah, tidak seperti pada umumnya yang menyebut dengan sebutan
Dewa maupun Bhatara.
Orang Suci yang
memiliki wewenang untuk memuput upacara yang dilangsungkan di Sanggah Misi disebut dengan istilah Balian (Balian Nganteb). Untuk menjadi
seorang Balian Nganteb, biasanya
adalah anak yang paling tua atau orang yang dituakan, sehat secara lahir dan
batin, dan harus sudah melewati beberapa tahapan upacara yaitu upacara memarek, mepaum, dan nyampi yang dilaksanakan
di Pura Bale Agung, Pura Pengaturan.
Makna dari upacara memarek
adalah bahwa sang yajamana (sang
pembuat uapacara) secara lahir batin sudah siap untuk menjadi abdi (parekan) Ida Bhatara. Kemudian tahap kedua
upacara Mepaum yaitu sebuah upacara
yang melibatkan seluruh krama desa agar seluruh krama desa menjadi tahu bahwa
sang yajamana siap untuk menjadi
seorang balian. Upacara ini
dilaksanakan dengan sarana satu ekor kambing dan empat ekor babi. Hal ini
berlaku bagi orang yang memiliki satu istri, sedangkan yang memiliki dua istri
akan membayar penempuh. Penempuh ini ini sesuai kelipatan dari sarana yang
disebutkan di atas. Upacara yang terakhir yang paling menentukan untuk menjadi
seorang Balian adalah upacara nyampi.
Upacara Nyampi dilaksanakan dengan menghaturkan godel (anak sapi) 1 ekor
dan 1 guling babi, yang dilakasanakan di Pura Pengaturan. Upacara ini bertujuan
untuk memperoleh ilmu dan taksu dalam
bidang Balian dan upacara ini
dilaksanakan di Pura Pengaturan di hutan (bukit). Upacara ini berarti sebuah ritual yang dilaksanakan dengan memohon
kekuatan secara gaib agar mendapatkan ilmu yang sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki oleh seorang Jro Balian. Sebenarnya kata nyampi dalam bahasa Bali
sering disamakan dengan istilah nampi
(menerima). Adapun pengertian lain tentang Upacara
Nyampi ini, Kata Nyampi berasal dari kata Sampi (sapi) yang maknanya bahwa dalam proses upacara ini menggunakan
seekor anak sapi (godel) sebagai sarana upakara yang pokok.
Menyimak sarana upakara yang digunakan dalam berbagai
ritual yang dilaksanakan di desa adat Julah, maka dapat diasumsikan bahwa
masyarakat Julah adalah penganut paham Siwa
Sidhanta, dengan bukti bahwa di desa ini dalam proses upacaranya mengunakan
binatang korban. Siwa merupakan dewa yang memiliki kedudukan yang paling tinggi
dalam Agama Hindu. Dalam kisah Siwa Purana, Dewa Siwa mempunyai seorang bhakta yang sangat setia yang bernama Nandini (lembu Nandini) dan di dalam upacara ini seekor anak sapi juga disamakan
dengan Nandini. Jadi dapat di ambil
filosofinya untuk menjadi abdi Tuhan
hendaknya seperti seorang nandi, yaitu menjalankan hidup untuk mengabdi dengan
setia dan penuh keikhlasan. Jadi dalam proses upacara Nyampi dapat diartikan bahwa tujuan dari upacara ini adalah untuk
menjadi abdi Ida Hyang Widhi yang
siap secara lahir dan batin secara niskala.
Sedangkan secara sekala prosesi upacara ini memerlukan biaya yang
cukup besar dan pembiayaanya dikeluakan dengan biaya sendiri. Jadi mengingat
bahwa untuk menjadi orang suci ini perlu adanya suatu pengorbanan besar,
khususnya dalam hal materi, secara tidak langsung sang yajamana akan berfikir seribu kali untuk terjerumus kembali ke
hal-hal yang negatif yang dapat menodai
kewajibanya sebagai balian. Setelah
melewati upacara inilah sang yajamana
akan sah menjadi seorang Balian Nganteb serta berhak untuk memuput upacara di Sanggah
Misi.
Foto 12
Sanggah Misi
3.4 Tari-tarian Sakral
Jika
dilihat dari perkembangan sejarah kepariwisataan Bali, maka Bali begitu dikenal
di seantero dunia, karena seni dan budayanya. Kebudayaan Bali terkenal akan seni
tari, seni pertujukan, dan seni ukirnya. Covarrubias mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut
sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan-lepas dari
kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya mulai dari menari, bermain musik,
melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok
sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan (penabuh). Bahkan sesajen
yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun kelapa muda (janur) dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang. Menurut
Covarrubias, seniman Bali adalah perajin amatir, yang melakukan
aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak
peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.[5] Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik,
sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa,
atau dihiasi relief kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah
asing.
Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam
berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan
dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik
pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula
pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan
berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari
membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam
serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.[8]
Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga
mengenal pertunjukan wayang, namun dengan
bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku
Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius
mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.
Demikian
juga halnya dengan masyarakat Julah. Walaupun masyarakatnya tinggal di lintas
jalan antar kabupaten dan provinsi yang selalu dipengaruhi oleh berbagai hal
berbau IPTEK dan globalisasi, namun masyarakat Julah tetap eksis menjaga dan
melestraikan tradisi leluhurnya yang maha adi luhung. Salah satu bukti bahwa
masyarakat Julah tetap melestarikan budaya adiluhung leluhur mereka adalah
dengan sangat lestarinya berbagai macam kesenian nenek moyang dan sampai saa6
ini masih bertahan dan bahkan sampai dunia kiamat pun.
Adapun tari-tarian sacral yang masih hidup
dan lestari di desa Julah adalah:
3.4.1 Tari
rejang Renteng
Rejang adalah
tarian upacara keagamaan bagi masyarakat Hindu Bali, diperkirakan sudah ada
sejak jaman pra Hindu. Tarian ini dalam pementasan berfungsi sebagai
persembahyan suci untuk menyambut kehadiran para dewata yang turun ke dunia
dari Kahyangan untuk menyaksikan upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu.
Tarian rejang
merupakan simbol widyadara dan widyadari yang menuntun Ida Bhatara tedun (Tuhan turun ke dunia). Tarian ini
biasanya difungsikan dalam rangkaian upacara melasti atau Ida Bhatara turun ka Paselang atau ke dunia. Khusus
untuk tarian rejang renteng yaitu salah satu bentuk tarian rejang sakral
memiliki tanda-tanda khusus, yaitu adanya Jempana
Linggih Ida Bhatara yang dituntun dengan benang panjang yang diikatkan pada
masing-masing pinggang penari. Di Bali hingga saat ini ada bermacam jenis
tarian rejang yang hidup lestari di beberapa desa adat/desa Pakraman yang
keberadaannya tetap lestari dan dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya.
Untuk
lebih menambah wawasan kita tentang tarian rejang, maka dikutip beberapa
pendapat para pakar seni tari tentang tarian rejang sebagai berikut :
Dibia,
(1977/1978 : 34 ) seorang pakar tari sekaligus dosen di ISSI denpasar
menegaskan bahwa tarian rejang adalah sebuah tarian tradisional yang gerak-gerik
tariannya sangat sederhana (polos), yang merupakan suatu tarian masal yang
biasa dipentaskan dalam rangkaian upacara keagamaan di pura-pura, yang
ditarikan dengan penuh rasa pengabdian serta rasa bhakti yang tinggi dan tulus
ikhlas kepada bhatara dan bhatari. Tarian ini biasanya ditarikan oleh wanita
dengan menggunakan pakaian adat upacara sesuai dengan pakaian adat upacara
masing-masing daerah.
Sementara
itu Putra, (tt:9) menyatakan bahwa rejang
adalah tarian yang para penarinya adalah para deha atau gadis-gadis yang
belum menikah yang ditarikan pada waktu menuntun Ida Bhatara atau upacara keagamaan yang berhubungan dengan nuntun.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Julah sebagai
masyarakat yang masuk kategori desa tua, maka tarian rejang tetap dilestarikan
hingga saat ini. Salah satu tarian rejang sacral yang masih lestari tidak
seperti halnya di desa –desa lain yang ada di Bali, di mana tarian rejang ini
sudah banyak yang punah adalah tari rejang renteng. Tari Rejang Rentang
merupakan tari yang biasanya paling awal di pentaskan pada saat upacara piodalan
di pura Bale Agung. Tarian ini hanya dapat ditarikan oleh para istri dari dulun
desa (tetua adat) yakni istri Jro Kubayan dan Jro Bau, yang jumlah penarinya ada enam orang. Selain
itu tarian ini juga berfungsi sebagai cara untuk menunjukkan kepada seluruh
krama desa bahwa para istri dari dulun desa masih sehat jasmani dan rokhani.
Hal ini dilakukan karena untuk menjadi seorang dulun desa harus memiliki
kesehatan jasmani serta rokhani dan jika syarat ini tidak dapat dipenuhi maka
dulun desa akan diganti.
Foto 13
Tari
Rejang Renteng
3.4.2 Tari
Baris Panah
Tari baris adalah salah satu dari jenis tari
yang ada dari berbagai jenis tari upacara yang sangat penting dan masih tumbuh
subur di hampir semua desa adat/desa pakraman
yang ada di Bali, serta selalu difungsikan sebagai pengiring atau pelengkap
upacara keagamaan. Tari baris diduga
berasal dari kata baris yang artinya deret, leret, berjajar atau berbanjar.
Baris juga bisa berarti berbaris bagi setiap pasukan atau prajurit yang
merupakan kesatuan tentara yang dipersiapkan untuk menghadapi peperangan.
Tentara yang berbaris melambangkan serdadau-serdadu kerajaan di jaman dahulu,
yang dipersiapkan oleh para raja untuk melindungi kerajaannya.
Tarian
baris di samping berfungsi sebagai tarian upacara, juga berfungsi sebagai tari
kepahlawanan. Tarian baris biasanya dipertunjukkan atau ditarikan oleh sekitar
4 orang penari sampai sejumlah 64 orang penari laki-laki. Fungsi ritual dari
tarian baris ini adalah menunjukkan tentang kematangan sepasukan tentara dalam
keakhliannya memainkan senjata.Tarian baris memiliki ciri khas, yaitu pada
setiap penarinya memabwa sejata ( perlengkapan perang ) seperti tombak, pedang,
bedil perisai, panah serta senjata-senjata lainnya, sesuai dengan jenis tarian
baris yang dipentaskan.
Menurut
Bandem, (tt : 24 ) mengungkapkan bahwa dalam kidung Sunda sebuah puisi sejarah
dinyatakan bahwa kurang lebih tahun 1550 disebutkan adanya 7 (tujuh) buah/macam
bebarisan yang dipentaskan pada saat pembakaran mayat di kerajaan Majapahit,
setelah selesai perang bubat, serta raja Hayam Wuruk ikut menyaksikan tarian
tersebut. Dan sekarang, sisa-sisa bebarisan itu masih tetap hidup dan lestari
di pulau Bali dan jumlahnya hampir mencapai 30 tarian baris, yang masing-masing
memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri.
Di
Bali baris melambangkan kepahlawanan. Dalam kegiatan ritual kegiatan Hindu
seperti upacara Maprani di pura Batur
Kintamani dan upacara agama Makincang-kincung
atau upacara piodalan di daerah
Badung juga dilaksanakan upacara perang-perangan. Pada tarian baris dengan
jelas tersirat adanya unsur kepahlawanan pada aspek tarian dan gerak serta
kostum yang digunakannya serta para penari pada saat menari mempergunakan
alat-alat perang seperti tombak,panah, pedang dan sebagainya.
Bandem,
( 1979 : 67 }menjelaskan bahwa tarian baris adalah salah satu dari berjenis-jenis
tari upacara yang sangat penting di Bali dan bahkan di dunia. Tari baris
berasal dari kata bebarisan yang berarti deret, leret, jajaran dan banjar.
Baris juga berarti pasukan/prajurit, merupakan kesatuan tentang yang telah
dipersiapkan untuk berperang. Tentara ini melambangkan serdadu kerajaan di
jaman dahulu yang dipakai oleh raja-raja untuk melindungi kerajaan mereka di
masa kekacauan. Baris dalam hal ini berfungsi sebagai tari kepahlawanan.
Pandji,
( tt : 4 ) menyatakan bahwa tari baris adalah sebuah tarian upacara yang
ditarikan oleh penari-penari peria, dengan tidak mempergunakan lakon (lelampahan), umumnya tarian ini
dipertunjukkan untuk melengkapi upacara Dewa Yadnya. Tarian baris ini tergolong
ke dalam jenis tari wali, karena tari tersebut berfungsi sebagai sarana
pelengkap upacara keagamaan.
Dari
sekian banyak jenis tarian baris yang masih hidup berkembang serta dilestarikan
keberadaannya di Bali adalah : Tari baris
Gede, baris Ketekok Jago, baris Presi, baris Omang, baris Bajra, baris Jojor,
baris Pendet, baris Tombak, baris Demang-demung, baris Kupu, baris Lutung,
baris Kelempa, baris Ireng, baris Nuri, baris Cendek, baris Kuning, baris
Gayung, baris Taruna, baris Bedil, baris Juntal, baris Welanda, dan baris
melampahan, serta masih banyak lagi jenis tarian baris yang lainnya.
Mencermati
pemaparan tentang tari baris di atas, di desa Julah hingga saat ini tetap
lestari tarian baris yang keberadaannya diwarisi hingga saat ini, serta
merupakan warisan tari baris sacral para leluhur masyarakat desa adat Julah.
Adapun beberapa tarian baris yang tetap digunakan sebagai pengiring pelaksanaan
upacara yadnya di desa adat Julah adalah tari baris panah.
Tarian ini ditarikan oleh empat orang laki-laki yang
belum menikah. Tarian ini ditarikan
setelah tari cekutil pada saat piodalan di pura Baleagung dilaksanakan. Cri
khas tarian ini adalah penarinya membawa panah dan masih bujang. Tarian ini
mengandung makna yang sangat dalam yakni merupakan simbolisasi dari penerapan
catur Asrama yaitu tahapan brahmacari asrama. Seperti dikatahui bahwa.Catur
Asrama adalah merupakan konsep ajaran Hindu tentang tingkatan hidup manusia
yang harus ditempuh selama hidup. Tahapan yang pertama adalah brahmacari asrama,
kedua grehasta asrama atau tahapan hidup berumah tangga, tahapan ketiga adalah
wana prasta yaitu tahapan hidup untuk mengasingkan diri kehutan untuk
meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian dan tahapan keempat adalah
Biksuka atau Sanyasin. Tahapan Brahmacari Asrama merupakan tahapan hidup bagi umat Hindu untuk
menuntut ilmu pengetahuan, di mana pada saat melaksanakan brahmacari asrama
diharapkan untuk selalu belajar dan menambah wawasan serta mengasah kemampuan
berpikir atau manah. Dalam tarian ini brahmacari dilambangkan denpemuda yang
masih bujang serta membawa atribut panah merupakan simbolisasi dari kecerdasan
pikiran. Kecerdasan pikiran diibaratkan sebagai tajamnya anak panah di dalam
manusia menuntut ilmu pengetahuan, karena pada saat masih muda di mana pikiran
sedang tajam karena tidak memikirkan hal-hal yang lain selain belajar
diharapkan dapat mengasah kemampuan untuk memperoleh berbagai macam
pengetahuan.
Foto 14
Tari
Panah
3.4.3 Tari
Baris Cekutil
Tari cekutil adalah tarian yang merupakan simbol dari patih
dengan wijil dengan atribut membawa tamiang. Tarian ini ditarikan oleh dua
orang laki laki.
Foto 15
Tari
Cekuntil
3.4.4 Tari
Baris Cendakan
Tarian ini ditarikan oleh empat orang laki-laki yang
masih bujang dengan membawa atribut tombak. Tarian ini melambangkan jiwa
kepahlawanan untuk selalu menjaga keamanan wilayah, atau dengan kata lain bahwa
tarian ini juga melambangkan keberanian bagi para pemuda di dalam membela
wilayah desanya.
Foto
16
Tari Baris
Cendakan
3.4.5 Tari
Baris Dadap
Tari dadap adalah tari yang ditarikan oleh delapan orang
penari laki-laki dengan atribut tari membawa jukung-jukung kecil. Tarian ini
merupakan tari yang dapat mengenang kita bahwa nenek moyang kita adalah seorang
pelaut yang handal dan mampu mengarungi lautan yang luas dari delapan penjuru
mata angin. Rupanya tarian ini sebagai symbol kebesaran dan kegigihan para
nenek moyang kita di dalam mengarungi ganasnya samudra untuk memperjuangkan
hidup hingga selamat sampai ke Bali.
Foto 17
Tari Baris Dadap
3.4.6 Tari
Baris Jojor
Tarian ini ditarikan oleh dua belas orang laki-laki
dengan membawa atribut tombak sebagai senjata. Melihat dari komposisi dan
atribut yang digunakan, maka tarian ini lebih melambangkan kegiatan berburu
sebagai kebiasaan para leluhur kita pada zaman dahulu, dalam menyambung hidup
biasanya dilaksanakan kegiatan berburu.
Foto 18
Tari
Jojor
3.4.7 Tari Baris
Presi
Tari Baris Presi adalah tarian yang ditarikan
oleh 6 orang penari laki-laki dengan menggunakan atribut perisai atau tameng.
Melihat dari atribut yang digunakan maka tarian ini melambangkan seorang
prajurit yang setia untuk mengawal sang raja serta melindungi dirinya sendiri
Foto 19
Tari
Baris Presi
3.5 Seni Musik / Tabuh
Seni musik atau
yang dikenal dengna seni tabuh, hampir dimiliki oleh semua desa pakraman yang
ada di Bali. Hal ini disebabkan karena kehidupan keagamaan umat Hindu di Bali
tidak akan lengkap jika dalam pelaksanaan upacara keagamaan yang dilaksanakan
tanpa diiringi dengan alunan musik gamelan. Hal ini berkaitan dengan makna
filosofis yang terkandung di dalam ritual keagamaan Hindu bahwa di dalam
aktivitas ritual keagamaan Hindu yang dilaksanakan akan dikatakan lengkap jika
terdapat unsur-unsur musik, vokal, dan tari, selain sarana upakara yang memang
wajib disiapkan oleh setiap umat Hindu dalam pelaksanaan ritual keagamaan yang
dilaksanakan.
Seperti dipahami
bahwa dalam ritual Hindu yang dilaksanakan, maka selain ada sarana upakara
dengan berbgai perlengkapannya, maka ada pendukung dari unsur manusia dal;am
pelaksanaannya, yaitu Sang Sadaka, Sang
Widya dan Sang Yajamana (Tri Manggalaning Yadnya). Pada saat Sang Sadaka memuput upacara, maka tampak
beliau mengucapkan Weda Mantra,
dengan sikap tangan ( mudra ) yang
beliau gerakkan, serta bunyi (suaran bajra) yang selalu berdenting untuk
mengikuti alunan weda mantra yang
diucapkan oleh sang sadaka. Dari aktivitas Sang
Sadaka memimpin upacara sebenarnya mengandung makna bahwa Puja mantra yang dilakukan oleh Sang Sadaka diimplementasikan ke dalam
bentuk nyanyian suci ketuhananan (Dharmagita)
yang mutlak harus disuarakan dalam ritual keagamaan apapun bentuknya, mudra (gerakan
tangan diimplementasikan ke dalam gerakan tari sakral, serta suaran bajra
(suara genta) diimplementasikan ke dalam bentuk suara musik gamelan.
Jika hal di atas
tidak dilakuakan di dalam ritual keagamaan Hindu yang dilaksanakan, maka ritual
atau upacara keagamaan yang dilaksanakan belum bisa dikatakan lengkap. Oleh
sebab itulah salah satu komponen dari ritual keagamaan yang diuraikan di atas,
yaitu musik gamelan harus diperhatikan oleh umat Hindu dalam rangkaian
pelaksanaan ritual keagamaan yang dilaksanakan.
Tabuh yang sering
juga disebut dengan istilah karawitan yang penampilannya dinyatakan dengan tata
garap lagu-lagu gamelan yang dirangkai sedemikian rupa, sehingga menimbulkan
alunan nada yang harmonis dan enak didengarkan. Musik gamelan yang
perwujudannya didasarkan atas peraturan-peraturan yang meliputi cara atau
teknik memukul, tutupan (tetekep) tempo dan matra, dinamika (keras lirihnya
suara gamelan) disesuaikan dengan sifat-sifat lagu yang dimainkan. Dalam musik
gamelan dikenal adanya sifat-sifat lagu seperti sedih, manis, keras, keras
manis dan sebagainya, sesuai dengan ungkapan jiwa penggarapnya.
Untuk jenis
gamelan gambang, slonding, gender wayang, angklung, joged bumbung dan yang
sejenisnya tidak memakai istilah tabuh sebagai ukuran panjang pendek. Hal ini
disebabkan karena seni tabuh memiliki pengertian yang lebih mengkhusus yaitu
ukuran panjang pendeknya sebuah lagu dalam satu gong (finalis) yang disertai
dengan aturan jatuhnya pukulan instrumen yang berfungsi sebagai pemangku irama
seperti kajar, dalam gamelan pegambuhan kemong dalam gamelan pelegongan, semara
pegulingan dan bebarongan, kempul dan kempli dalam pegongan.
Seni tabuh,
seperti halnya seni yang lain juga memiliki dua wajah, yaitu wajah yang umum
dan wajah yang khusus. Dalam wajah yang umum, seni tabuh dimanfaatkan
semata-mata untuk melatih keterampilan memukul gamelan dalam usaha pelestarian
budaya serta pengembangan bakat berkesenian, namun dalam proses penggunaannya
selalu terikat dengan unsur-unsur upacara keagamaan, seperti pada saat gamelan
mau ditabuh, sebelumnya harus didahului dengan inisiasi upacara keagamaan
berupa persembahan peras gong ( sagi-sagi gong ). Dalam wajahnya yang khusus
seni tabuh atau gamelan selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan, karena
dipandang memiliki unsur sakral serta dalam penampilannya hanya dimengerti dan
dipahami oleh masyarakat pendukungnya.
Termasuk ke
dalam wajah seni tabuh yang umum adalah gong kebyar, gong angklung kreasi dan
sebagainya, yang pada umumnya dipentaskan dengan tujuan untuk mendapatkah upah
serta biasanya dipergunakan untuk menyambut kedatangan para tamu tatkala ada
kunjungan ke desa-desa atau ke pulau Bali.
Termasuk jenis
gamelan yang disakralkan, terutama jenis gamelan yang masih hidup dan lestari
keberadaannya hingga saat ini adalah : gong
gede, gong beri, gong luwang, slonding, caluk, Saron, Trompong Beruk, Tambur,
Caruk dan sebagainya. Unsur kesakralan gamelan juga dapat dilihat di
sampiong dari jenis gamelannya, juga dapat dilihat dari penabuh yang memukul
gemelan. Para pemukul gamelan sakral pada umumnya adalah orang-orang yang
khusus ditunjuk atau ditugasi ( sekaa) secara khusus, terutama orang-orang yang
sudah diinisiasi upacara keagamaan ( diwinten ) atau diupacarai secara agama
Hindu serta sesuai dengan tradisi pendukungnya.
Lontar
Prakempa.
Berbicara
masalah seni tabuh tentu berkaitan dengan masalah bunyi. Dalam lontar prakempa yang diciptakan oleh Bhagawan Wiswakarma, yang berawal dari
ide beliau tentang bunyi (uara ) 8 penjuru dunia yang sumbernya berada pada
dasar bumi. Suara-suara bumi itu dibentuk menjadi sepuluh (10) nada, yaitu 5
nada disebut nada pelog, dan 5 nada
lagi disebut nada selendro. Nada-nada
di atas berkaitan dengan Panca Tirtha dan
Panca Gni, yaitu dua sumber keseimbangan hidup manusia.
Laras
pelog berhubungan dengan Panca Tirtha
sebagai manifestasi dari Bhatara Semara,
sedangkan laras selendro mempunyai hubungan dengan Panca Gni sebagai manifestasi dari Dewi Ratih. Dari 10 nada yang dijiwai oleh Dewa asmara (percintaan
)( Semara Ratih) bersumber pada 7 nada yang urutannya sebagai berikut : ding, dong, deng , ndung, dung, dang, nding.
Ketujuh nada tersebut merupakan sumber nada dalam gamelan Bali. Dalam Lontar Prakempa bunyi ketujuh nada
tersebut disebut genta pinara pitu
(bunyi berjarak tujuh) Di samping terciptanya pelog 5 nada, selendro 5 nada dan
pelog 7 nada ( genta pinara pitu ), juga ada nada berdasarkan tri aksara ( ang,
ung, mang ) dan selendro 4 nada yang berkaitan dengan Sanghyang Catur Lokapala
( Indra, Yama, Kwera dan Waruna ).
Dalam
konsep pengider Bhuana disebutkan urutan nada dengan Dewanya amsing-masing
seperti : (1) Nada dung ( utara ) Dewanya Wisnu, (2) Nada Dang (timur) Dewanya
Iswara, (3) Nada Ding (selatan) Dewanya Brahma, (4) Nada Deng ( barat) Dewanya
Mahadewa, (5) Nada Dong ( tengah) Dewanya Siwa, (6) Nada Ndeng ( Barat laut )
Dewanya Sangkara, (7) Nada Ndung ( timur laut ) Dewanya Sambhu, (8) Nada Ndang
(tenggara ) Dewanya Mahesora dan (9) Nada Nding (barat daya) Dewanya Rudra)
Jika
diperhatikan sesuai petunjuk Lontar Prakempa, maka para penabuh gamelan adalah
merupakan kegiatan memainkan atau memutar memutar Dasa Dewa atau Dasa Aksara,
yang artinya para penabuh disimbolisasikan sedang memutar jalannya dunia ini,
yang sebenarnya merupakan kewenangan Ida Hyang Widhi Wasa tatkala mengendalikan
dunia dengan segala isinya. Oleh karena demikian maka barang siapa
(seniman tabuh) jika berkreativitas dibidang
seni karawitan tanpa memahami isi lontar Prakempa, maka mereka akan kena kutuk
pada saat kelahirannya nanti akan menjadi binatang.
Menurut
Lontar Prakempa barungan gamelan yang ada seperti berikut memiliki fungsi yang
berlainan se4suai dengan tempat, waktu dan kondisi, seperti berikut :
1. Gamelan
Slonding : digunakan untuk mengiringi puja para pendeta yang sedang mengadakan
tapa samadhi di hutan-hutan
2. Gamelan
Meladprana: digunakan untuk mengiringi tarian gambuh ritual baik di sorga
maupun di Istana Raja-raja.
3. Gamelan
Semar Pegulingan :digunakan sebagai pengiring tari pependetan khususnya pada
upacara yang dilaksanakan di Istana Para Raja
4. Gamelan
Bebonangan : Gamelan ini sering disebut dengan gamelan Ketug Bumi digunakan
untuk mengiringi upacara Bhuta Yadnya ( Pengeruwatan/Pebersihan) dan
gamelan-gamelan lainnya berfungsi mengiringi upacara perkawinan ( manusa Yadnya
), Pengabenan dan Nyekah ( Pitra Yadnya, serta Upacara Pujawali ( Dewa Yadnya
), upacara suka duka dan upacara pesta lainnya di Istana Raja.
Keunikan gamelan
di desa adat Julah adalah bahwa gamelan tidak boleh disentuh oleh sembarangan
orang. Gamelanpun tidak diperbolehkan untuk digunakan sebagai alat untuk
mengadakan latihan. Namun yang ajaib adalah bahwa jika ada pelaksanaan upacara,
maka siapa yang mau ngaturang ayah (menabuh) diperbolehkan, dan para penabuh
hanya melihat notasi (ndang, nding, ndong, ndeng, ndung) yang telah dipajang
dihadapan tempat menabuh. Para penabuh pada saat menabuh hanya melihat notasi
nada pada tempat yang sudah disiapkan serta melihat dan memukul gamelan
berdasarkan notasi tabuh yang sudah disediakan. Dalam kaitannya dengan
pengiring upacara, maka para penabuh tidak perlu mengadakan latihan, karena
begitu ada pelaksanaan upacara para penabuh langsung menabuh dengan berpedoman
pada notasi yang sudah disiapkan.
3.6 Sarana
Upakara
Dalam pelaksanaan upacara di desa adat Julah,
penggunaan sarana upakaranya sangat sederhana, hal ini sangat berbeda dengan
desa-desa lain yang ada di Bali pada umumnya. Dalam pelaksanaan upacara
keagamaan masyarakat menggunakan sarana
antara lain :
3.6.1 Kawesan Sangkepan
Kawasan sangkepan: Sarana kawasan sangkepan ini digunakan pada saat proses pesangkepan krama desa
adat (pertemuan adat) dan kawasan sangkepan ini disiapkan oleh saye (petugas
pi9ket) desa. Kawasan ini terbuat dari daun pisang sebagai alas kemudian diisi
kacang komak, kelapa parut, porosan pinang yang dipotong kecil. Kawasan
sangkepan ini akan dibagikan kepada krama tegak pada saat sangkepan akan
berakhir dan dibawa ke rumahnya masing-masing untuk dimasak dijadikan lauk dan
porosannya di lebar.
Foto 20
Kawesan
Sangkepan
3.6.2 Canang
Canang
adalah salah satu sarana upakara yang dipergunakan oleh umat Hindu di Bali dalam
pelaksanaan upacara yadnya. Canang pada umumnya merupakan symbol
dari perwujudan dewata nawa sangga, yang mana isi dari canang tersebut biasanya
adalah bunga, daun, dan porosan. Tetapi lain halnya dengan canang yang ada
didesa Julah yang memiliki bentuk dan makna tersendiri. Canang ini disusun atas
beberapa bagian yaitu yang pertama taamas segi empat yang merupakan lambang
tapak dara atau suastika yang mempuyai arti keseimbangan, yang ke- dua daun
pisang yang dipotong besar dan kecil bermakna sebagai lambang buana agung dan
buana alit, yang ke- tiga adalah daun sirih tiga lembar merupakan simbolisasi
dari tri murti atau simbul dewa wisnu karena sirih memiliki warna hitam atau
hijau, yang ke- empat daun intaran 3 lembar merupakan simbolosasi dari dewa
Mahadewa karena warna daun intaran adalah kuning, ke- lima kojong pamor
merupakan lambang dari dewa iswara, dan yang ke- enam yaitu 3 buah pinang yang
merupakan lambang dewa brahma. Jika semua ini sudah tersusun menjadi satu maka
canang ini akan menjadi simbolisasi Ida Hyang Widhi Wasa.
Foto 21
Canang
3.6.3 Sanganan
Penyeneng
Sanganan penyeneng adalah banten yang paling
dominan digunakan didesa adat Julah dan banten yang paling utama dipergunakan
dalam pelaksanaan upacara yadnya. Adapun sarana yang terdapat dalam banten
Sanganan penyeneng antara lain :
1.
Nasi, telur, Gerang, daun intaran (cungcung),
pesan.
2.
11 ketan , injin kukus.
3.
11 gamis “kojong yang berisi parutan kelapa, kacang komak”.
4.
11 potongan ayam kukus.
Wakul yang di dalamnya berisi :
1 Pitik mepanggang,(ayam panggang) 1 iyingan,
telur, nasi, tumpeng 2 buah, pudak, pisang.
Foto 22
Sanganan Penyeneng
3.6.4 Pajegan
Gede Tingkat Desa
Pajengan ini dibuat
diga jenis dan dapat dilihat dari bentuk sampiannya di mana bentuknya berbeda
ketiganya, isi banten ini ada 11 jenis jajan dengan jumlah 3 buah. Jika kita
lihat ini mengacu pada 33 dewa.
Foto 23
Pajegan Gede Tingkat Desa
3.6.5 Linggian/Linggihan
Sarana ini
digunakan sebagai linggih tuhan, linggian ini dibuat dengan mengunakan beras,
gantusan kacang komak,benang tukelan,uang kepeng 225.canang mendak terdiri dari
canang biasa ditambah hiasan dan base lunggan yaitu pohon sirih dengan daunnya
kemudian daunya diisi porosan kemudian dugulung. Hal ini tentu berbeda dengan
yang digunakan oleh masyarakat Hindu di bali pada umumnya, karena untuk
masyarakat umum banten ini disebut daksina atau daksina linggih, yang berfungsi
untuk sthana Ida Hyang Widhi Wasa.
Foto 24
Linggian/Linggihan
3.6.6
Banten Bokor
Banten bokor adalah
sebuah banten yang alasnya mengunakan bokor dan tutupnya mengunakan bokor.
Adapun isi canang ini adalah berupa buah-buahan, dan diisi tamiang. Bokor
berarti ukuran jika dikaitkan dalam tatanan uapacara dapat diartikan aturan.
Jadi canng bokor merupakanan simbolisasi dari ketaatan seseorang atau kepatuhan
seseorang terhadap aturan-aturan dalam
melakukan proses upacara keagamaan.
Foto 25
Banten Bokor
3.6.7
Caru
Caru secara etimologi berasal dari kata “Car” yang artinya cantik, caru adalah
suatu prosesi upacara yang mana hal ini di tujukan untuk para bhuta kala yang
mana dalam tujuannya untuk menyomya (menetralisir hal egative ke hal positif).
Caru pada umunya ditempat lain dilaksanakan pada hari-hari tertentu saja,
sedangkan di desa adat Julah Caru tersebut dilaksanakan setiap hari, pada waktu
sore menjelang malam atau yang di sebut “sandikaon”. Adapun sarana caru yang dipergunakan didesa
adat Julah antara lain :
1.
Daun pisang.
2.
Nasi kepel.
3.
Buah pinang.
4.
Daun sirih.
5.
Air.
6.
Api takep.
Foto 26
caru
3.7 Tradisi
Lelangan atau Pasar Kaget
Lelangan biasanya dilakukan oleh krama desa adat Julah
dan dipimpin oleh juru lelang kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada saat
rahinan Tilem, proses pelelangan ini hanya di ikuti oleh krama desa lanang
(laki-laki). Adapun yang dilelang antara lain hasil bumi/hasil tanah (laba
pura), misalnya buah nangka, pisang, kelapa dan berbagai jenis kacang-kacangan.
Hasil lelangan ini dimasukan kedalam uang kas krama desa. Proses lelangan ini
dilakukan dengan dua cara yaitu barang yang milik desa dileleng dengan membuka
harga lelang dari harga murah dampai harga paling mahal. Kemudian leleng yang
digunakan untuk keperluan desa dilakukan dengan cara memberikan harga penawaran
paling mahal keharga yang paling rendah. Misalnya dari desa akan melelang
membuat ingke untuk keperluan desa. Dari pihak juru leleng akan memberikan
harga yang tertinggi missal 3000 rupiah
per ingka kepada krama desa kemudian krama desa akan menawar dengan harga lebih
murah dari 3000 rupiah sampai pada akhirnya yang krama desa yang ppenawarannya paling
murah akan mendapatkan lelangan itu.
Juru lelang mempunyai keweangan yang sangat tinggi dalam
pelaksanaan lelangan. Juru lelang diangkat berdasarkan paruman desa, jadi
kedudukan dan fungsi juru leleng sangat dihargai. Jika ada sesuatu hal yang
menyangkut lelangan yang bersifat darurat untuk keperluan desa maka juru leleng
akan mengambil tindakan yang cepat dengan memukul kulkul tiga kali secara
berturut-turut dan mengumpuklan krama desa. Keputusan lelangan akan dikatakan
sah apabila peserta lelangan diikuti minimal 10 orang. Jika kurang maka hasl
lelang tidak sah dan bisa dibatalkan.
Foto 27
Foto
Lelangan
3.8 Sumuh
Desa adat Julah memiliki tempat pemandian yang sangat
unik, yang sering disebut dengan sumuh, Sumuh ini terletak di sebelah utara desa
dekat pantai. Sumuh ini terbagi menjadi menjadi 4 bagian, yaitu yang pertama
tempat untuk mengambil air suci (air ini biasanya digunakan untuk minum dan
membuat tirtha), kedua untuk pemandian laki-laki, ketiga untuk pemandian
perempuan, dan keempat untuk memandikan hewan. Hinggakini keberadaan sumuh
masih dengan fungsinya. Menurut warga desa Julah bahwa sumuh ini dulunya adalah
tempat pemandian para raja sebelum melakukan pertemuan. Adapun sesuatu yang
unik yang dapat kita lihat yaitu adanya jejak kaki yang cukup besar yangdidiyakini
oleh warga Julah adalah jejak kaki Patih Iwa.
Foto 28
Jejak Kaki Kebo Iwa
Foto 29
Sumuh Suci
Foto 30
Sumuh
Permandian Laki-laki
Foto 31
Sumuh
Permandian Perempuan
Foto 32
Sumuh
Pemandian Hewan
3.9 Daun intaran
Menurut kepercayaan
masyarakat Desa Julah, daun intaran dipercaya berfungsi sebagai lambing
perlindungan dari Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa. Ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, masyarakatt Desa
Julah ketika bepergian jauh, selalu menggunakan daun intaran. Selain dipercaya
sebagai daun perlindungan, daun intaran juga dapat digunakan sebagai sarana
upakara.
Foto 33
Daun
Intaran
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
4.1.1
Dalam kemajuan IPTEK dan derasnya era globalisasi seperti sekarang ini,
masyarakat desa adat Julah tetap eksis mempertahankan kearifan local warisan
budaya leluhurnya. Hal ini tentu sangat sulit untuk dilakukan, mengingat pola
kehidupan manusia pada era global seperti sekarang ini yang serba pragmatis dan
serba instan.
4.1.2
Warisan budaya lokal yang maha adiluhung di desa adat Julah satupun
tidak ada yang lenyap karena pengaruh budaya asing akibat pengaruh yang sifatnya
merusak, merongrong, karena kekuatan adat dan budaya yang tetap dipertahankan
sampai saat ini.
4.1.3
Berbagai macam bentuk kesenian maupun struktur bangunantradisional tetap
diupayakan untuk dilestarikan keberadaannya, sehingga desa adat Julah boleh
dikatakan sebagai desa yang masyarakatnya sangat kuat mempertahankan desa
tradisonal yang sudah jarang kita dapatkan di Pulau Bali dan bahkan di
Indonesia.
4.2 Saran
Melalui tulisan ini dapat disarankan beberapa hal sebagai
berikut:
4.2.1
Kepada masyarakat desa adat Julah agar tetap menjaga keajegan dan kelestarian local genius atau tradisi lokal yang
diwarisi dengan baik sampai saat ini. Eksistensi desa tradisional bali yang
disandang oleh desa adat Julah agar tetap dipertahankan dari berbagai pengaruh
budaya asing yang dapat merongrong dan merusak tatanan masyarakat tradisional
yang maha adiluhung.
4.2.2
Kepada prajuru desa adat Julah agar tetap membimbing warganya untuk terus
menjaga lingkungan (aspek Tri Hita karana) agar keberadaan desa tradisional
Julah tetap bertahan hingga akhir zaman
4.2.3
Kepada Instansi terkait seperti PHDI baik dari tingkat desa sampai ke tingkat
pusat, MPLA (Majelis Pembinaan Lembaga Adat), Instasnsi dari Tk.Kecamatan
sampai Tk.Provinsi Bali agar terus memberikan pembinaan-pembinaan kepada
masyarakat desa adat Julah untuk tetap menjaga kelestarian desa adat Julah
Bandem, I Made. 1976.Tari Baris Dance. Denpasar : Serba Guna
Press
Boni. 2011. “Indonesia, ‘Halo Soekarno”
dalam Kompas, 16 April 2011, Jakarta.
...........................,
1981. Kaja and Kelod Balinese Danche in
Transtition. Kualalumpur : Oxford University Press
Belo, Jane. 1960. Trance in Bali. New
York : Columbia University Press
Covarrubis,
Miguel, 1936. The Theatre in Bali. Theatre
Arts Mounthly 20 ( T 34 ) : 575-569 .New York : Theatre Arts Inc.
Dahana, Radhar Panca. 2011. “Saya Mohon
Ampun” dalam Kompas, 20 April 2011,
Jakarta.
Hargens, k
Hargens, k
Dibia,
Wayan. 1977. Perkembangan Seni Tari Bali.
Denpasar : Proyek Sasana Budaya Bali
Dinas, Kebudayaan Bali. 1977. Pesta Kesenian Bali, Denpasar : Dinas
Kebudayaan Bali
Gobyah, Ketut. 2003. “Tegaknya Panca Yadnya Ciri Ajegnya Bali”. Denpasar: Bali Post (Diakses Pada
Goris, R. 2012. Sifat Religius
Masyarakat Pedesaan Bali. Denpasar: Udayana University Press Rabu Umanis, 26 Maret 2003).
Hartoko, Dick.1994. Manusia dan Seni. Yogyakarta : Penerbit Yayasan Kanisius
Jati, Wasisto Raharjo. 2011. “Pembangunan
Gerus Kearifan Lokal” dalam Kompas, 20 April
2011, Jakarta.
Keraf,
A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Kumara
Jaya, I Gede Ngurah. 1985. Tari Baris
Nawa Sang di Desa Baturiti. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.
Muhtadi, Dedi. 2011. “Ketika Kearifan Lokal Tergerus Zaman”
dalam Kompas 23 April 2011, Jakarta.
Putra, I Gusti Agung Gede.tt. Cudamani Tari Wali. Denpasar : Bali
Offset
Putra, I Gusti Agung Gede.1980. Cudamani Tari Wali. Denpasar : Percetakan Bali
Putri,
Nyoman. 1986 Tari Sanghyang Celeng di Banjar Jabngu Duda. Denpasar : Akademi
Seni Tari Indonesia.
Read, Herbert. 1954. The Meaning Of Art. Richard Clay and
Company Ltd.-Sufflock
Ridwan,
N.A. (2007). “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. Jurnal Studi Islam dan
Budaya. Vol.5, (1), 27-38.
Sri
Nadi ,Ni Luh Putu. 1986. Tari Baris Jago
di Banjar Jukut Paku Denpasar. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia
Srinatih,
I Gusti Ayu. 1982. Tari Baris Memedi di
Desa Banjaran Tengkudak. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.
Srinati,
Ni Made. 1985. Tari Baris Panah di desa
Jinang Dalem Buleleng. Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.
Tim
Penyusun. 1998. Tari Wali. Denpasar :
Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali
Apriyanto,
Y. dkk. (2008). “Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Pengelolaan Sumberdaya
Air yang Berkelanjutan”. Makalah Pada PKM IPB, Bogor.
DAFTAR NAMA – NAMA
INFORMAN
1.
Nama : I
Ketut Sidemen S.Pd
Jenis Kelamin :
Laki-Laki
Umur : 60
th
Jabatan :
Kelian Adat
Alamat :
Desa Julah, Dusun Kawanan, Gang Rurung Kumpi
2.
Nama :
Nyoman Sri Kaji
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 60
th
Jabatan :
Pengurus desa adat
Alamat :
Desa Julah, dusun Kawanan
3.
Nama :
Wayan Gasin
Jenis Kelamin :
Laki-laki
Umur : 85 th
Jabatan :
Jero Kubayan
Alamat :
Desa Julah, Banjar Kanginan
4.
Nama :
Ketut Darmayasa
Jenis Kelamin :
Laki-laki
Umur : 49
th
Jabatan :
Sekretaris Adat
Alamat :
Desa Julah, Banjar Kanginan
5.
Nama :
Ketut Sada
Jenis Kelamin :
Laki-laki
Umur : 34
th
Jabatan :
Sekretaris Adat
Alamat :
Desa Julah, Banjar Kawanan
sekian tahun saya tumbuh berkembang menjadi seorang wanita dan warga yang lahir di desa julah, baru saat ini saya sangat jelas dan mengatahui asal usul desa saya sendiri.terima kasih untuk semua yang menyusun cerita yang berdasarkan fakta zaman sekarang yang mana desa julah masih memegang erat semua culture budayanya.
BalasHapusKiriman ini sangat bagus, meskipun ada sebagian yang masih diringkas, tapi sudah mewakili semua, ini akan menjadi referensi sejarah untuk kami anak muda generasi desa julah, Salam!
BalasHapus